Memaknai Kekecewaan Dalam Pandangan Prinsip Hidup Secara Islami

Gambar: ilustrasi kecewa

Hallo Sahabat pembaca, lama sudah sepertinya saya tidak menulis lagi semenjak banyak nya kesibukan dan kejadian yang menimpa saya dan keluarga saya, tapi Insha Allah Semua Urusan dan Masalah saat ini perlahan mulai Hilang dan Insha Allah jika tuhan memberikan umur panjang serta waktu dan kesempatan, saya akan kembali aktif untuk menulis di halaman blog saya ini untuk berdiskusi, membagikan informasi serta menceritakan hal apa saja yang saya rasakan dan alami, dengan tujuan semoga tulisan dan artikel saya bisa setidaknya menjadi pintu inspirasi bagi teman-teman yang membacanya, Alhamdulillah jika tulisan saya bisa menjadi bekal ilmu dan Sedekah Jariyah saya buat sahabat pembaca sekalian, Amienn.

Kembali Mengingat Terakhir kali saya menulis itu sekitar 1,1 tahun lalu yang mana saya membahas persoalan "PHP & Heartbreak" yang bisa teman-teman bisa baca di postingan saya sebelumnya.

Baik, Untuk kali ini, saya akan sedikit membahas yang sedikit Related dengan sebelumnya tapi dengan pengalaman dan sudut pandang pribadi saya, juga yang saya rasakan saat ini.

Saya mulai dari kekecewaan, Nyatanya dunia ini emang selalu berputar, semua bisa berubah kapan saja, kadang sesuatu berjalan sangat lancar tapi kadang juga sesuatu berjalan tidak seperti yang kita inginkan, itulah yang di namakan takdir. Kebahagiaan bisa datang dan pergi begitu saja, mengikuti alur kehidupan memang tidak selalu berjalan mulus. Kita pasti pernah kecewa saat mengikuti berjalan nya alur kehidupan, berbagai hal yang tidak sesuai dengan harapan dan ketika kita mengalami kegagalan.

Saya teringat pada sepenggal puisi “Derai-derai Cemara” karya Chairil Anwar, bunyinya..

“hidup hanya menunda kekalahan, Ada yang tetap tidak diucapkan, sebelum pada akhirnya kita menyerah.”

Ya, hidup memang penundaan yang terus menerus terhadap kekalahan: kematian. Tapi kecewa bukanlah sebuah kekalahan. Kecewa merupakan satu langkah meraih kemenangan. Kemenangan atas apa? Kemenangan saya, kamu, dan kita atas diri sendiri. Kemenangan atas ego yang merongrong atau kemenangan atas keegoisan kita. 

Terkadang Miris memikirkan Cara pandang orang-orang mengenai NASIB, Banyak yang Berkata Nasib dapat di rubah, sedangkan TAKDIR takkan bisa di rubah, padahal Diksi tersebut mempunya dua pemahaman yang berbeda secara Harfiah, tidak secara Deep of Mind (Pemikiran secara Mendalam), Situs Britannica pernah menerbitkan Artikel berjudul "Do We Really Use Only 10 Percent of Our Brain?" yang mana berisi kutipan:

"In a survey, 65 percent of respondents agreed with the statement, “People only use 10 percent of their brain on a daily basis.” But the truth is that we use all of our brain all of the time."

Ini Menyimpulkan banyak orang yang sama sekali belum memaknai kekritisan pemikiran secara individual, mereka hanya melihat apa yang umum bagi mereka lalu menyimpulkan dengan hukum yang sudah ada dan dianggap mutlak.

Mengenai Perbedaan pemahaman antara TAKDIR dan NASIB masih banyak harusnya yang perlu kita gali dan kaji terkait pemahaman tersebut dimana ada kata NASIB, NISAB dan NASAB. 3 Kata tersebut cenderung yang kita tahu adalah NASIB yang seringkali kita Definisikan Sebagai TAKDIR, Padahal Perbedaan makna nya cukup Signifikan.

Balik ke Judul Pembahasan, Tentang kekecewaan, Ali bin Abi Thalib pernah Berkata:

"Aku telah merasakan semua kepahitan dalam hidup, dan yang paling pahit adalah Berharap kepada Manusia"

Yap, benar. saya sendiri sering berpikir akan hal ini, dan saya membuktikan nya dan ternyata benar, yang saya dapatkan adalah ketakutan, berlebihan, pengharapan yang seharusnya tidak saya lakukan, kata ANDAI bagi saya tidak cocok lagi mendeskripsikan Penyesalan yang saya alami karena saya tahu hasilnya akan Percuma.

Sedikit Cerita, saat ini saya menjadi tulang punggung keluarga dan beban yang saya rasakan mungkin pernah di alami orang lain, tapi setiap permasalahan hidup seseorang pasti berbeda, saya hanya berhak menjustifikasi Hidup saya sendiri bukan orang lain, maka dengan ini, saya seakan ingin mengatakan kepada semua orang bahkan ke diri saya sendiri untuk tidak Berharap kepada manusia, Tapi saya GAGAL, bahkan sekalipun Tujuannya itu ke DIRI SENDIRI.

Yang saya tahu tentunya kita tidak bisa hidup sendiri di dunia, harusnya sesama manusia kita saling membantu dan merangkul satu sama lain, Ideologi seperti ini tentunya akan mematahkan tulisan saya diatas yang menegaskan "Jangan Berharap pada Manusia".

Saya pernah beberapa kali meminta tolong kepada manusia karena memang saya lagi butuh pertolongan saat itu dan saya percaya orang yang saya mintai pertolongan pasti mampu menolong saya. tapi saat orang tersebut tidak dapat menolong saya, yang saya rasakan apa ?, Yap benar, KECEWA.

Saya menganggap, dan mengutuk diri sendiri dalam hati, ya Allah.. mampukan aku, agar aku tidak akan berkata TIDAK untuk makhlukmu yang lain yang sedang meminta pertolongan ku.

Tapi kenyataan berkata lain, saya berada di Circle orang-orang yang butuh pertolongan dan saya nikmati itu sekalipun dengan air mata.

"Mohon Bersabar, Ini Ujian"

Tagline tersebut sering saya jadikan Jokes dalam hati saya untuk merenungi NASIB yang saya alami dan kadang saya tertawakan. tapi dalam hati, saya selalu berdoa "Ya Allah, kalau memang jalanku harus seperti ini Untuk Meneguhkan Imanku di Hari Penghakiman kelak, maka kuatkan aku".

Lantas, apakah kita tak boleh kecewa? kecewa merupakan satu langkah untuk meraih kemenangan. Toh, kecewa juga merupakan bagian dari hidup, dan kita perlu itu. Jadi kecewa itu harus tetap ada dalam hidup. Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa?

Pertama, dengan kecewa kita akhirnya tersungkur. Terdiam dan membisu ditelan takdir. Akhirnya ada waktu senggang untuk memikirkan ulang, mengapa kita kecewa? Bagaimana kita agar tak kecewa, atau bagaimana kekecewaan ini bisa segera beralih menjadi kebahagiaan? Dengan kondisi ini kita akan menghela napas panjang. Mengistirahatkan langkah dan mengatur ulang ritme hidup yang harus dijalani setelah ini.

Kedua, kecewa akan menjadi sebuah ukuran bagi ke-aku-an dan kesombongan kita. Semakin sering kita kecewa, hati-hati, jangan-jangan kita sangat haus akan ke-aku-an dan lapar eksistensi. Padahal kita bukanlah apa-apa dan kita bukanlah siapa-siapa. Seperti pernyataan Soe Hok Gie, kita tak pernah menanam apa-apa, dan kita tak pernah menghasilkan apa-apa. Sebesar-hebat apapun diri kita, dalam cengkeraman maut, kita akan selesai. Lantas, apa yang masih diharapkan? Melalui pertanyaan tersebut dapat diketahui bahwa merasakan kecewa dapat menjadi tolok ukur bagi kita untuk menegosiasikan ke-aku-an dan eksistensi kita agar kita tak menjadi orang yang buas akan perhatian.

Ketiga, tanpa kekecewaan, kita semua tak akan mampu memaknai kebahagiaan, kelegaan, dan kepuasan—meskipun pada dasarnya manusia tak akan pernah merasa puas. Bagaimana manusia mengetahui makna bahagia jika kecewa hingga menderita pun belum pernah? Serupa halnya kematian, manusia akan memaknai hidupnya karena ia sadar bahwa ia akan mati.

Dari ketiga alasan di atas, masihkah kita kelabakan menghadapi kekecewaan dalam hidup? Jika masih, kebijaksanaan kuno rasa-rasanya masih relevan untuk kita pelajari. Kebijaksanaan tersebut merupakan hasil refleksi-refleksi salah seorang kaisar Romawi bernama Marcus Aurelius, yang kesepian dan berkat ketabahannya hingga ia dikenal hingga saat ini.

Terkadang, saat kita meminta pertolongan, kita cenderung di lihat rendah (At least dalam Asumsi dan Hati), padahal terkadang kita menyedihkan hal itu, bahkan tak ingin seperti itu, Sebenarnya dimana Makna "Memanusiakan Manusia" ?, Dimana arti "Sesama Manusia Harus Saling Tolong menolong ?"

Apa kita ingin menolong seseorang hanya karena ada niat tertentu, Entahlah, Terkadang saya pun masih harus belajar IKHLAS Dalam menolong bahkan Menghindari KEKECEWAAN apapun yang akan datang dalam Hidup saya, dan memaknai nya dengan sudut pandang yang luas.

Sehingga tak ada lagi dalam diri saya kata "ANDAI AKU MAMPU".


Reference:

- https://www.michaeljfox.org/publication/new-survey-finds-americans-care-about-brain-health-misperceptions-abound?id=484

- https://www.britannica.com/story/do-we-really-use-only-10-percent-of-our-brain

- lsfdiscourse.org

- suaramuslim.net


Teuku Raja

Philosophy and Psychology Addict, Culture and Humanity Activist, and Historical, Social, Technician Sains Enthusiast

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak