MEMBONGKAR HABIS MISTERI "9 NAGA": Analisis Mendalam tentang Kekuasaan, Pengaruh, dan Mitos di Indonesia

 


Di tengah kompleksitas panggung politik dan ekonomi Indonesia, muncul berbagai narasi dan mitos yang menyelimuti dinamika kekuasaan di negara ini. Salah satu tema yang kerap menarik perhatian adalah kisah "9 Naga", sebuah istilah yang sering diasosiasikan dengan konglomerat kuat yang konon memiliki pengaruh besar terhadap jalannya pemerintahan dan ekonomi. Meski secara harfiah tak terlihat, keberadaan figur-figur ini kerap dibicarakan dalam diskusi politis dan konspiratorial. Artikel ini akan membongkar habis misteri di balik "9 Naga", mengurai jaringan kekuasaan dan pengaruh yang mungkin mereka miliki, serta menggali kebenaran dan mitos yang melingkupinya. Dengan menganalisis sejarah, peran mereka dalam bisnis dan politik, serta dampaknya terhadap masyarakat Indonesia, kita akan berusaha mengidentifikasi sejauh mana mitos ini mempengaruhi persepsi publik, serta apa artinya bagi perkembangan demokrasi dan ekonomi di tanah air.

:: PENDAHULUAN ::

Istilah "9 Naga" telah lama menjadi sebuah enigma yang melekat dalam diskursus sosial-politik dan ekonomi Indonesia, seringkali menjadi sinonim bagi kekuasaan besar yang terkonsentrasi di tangan segelintir taipan. Aspek "misteri" yang menyelimutinya bersumber dari minimnya konfirmasi resmi, sifat bayangan dari dugaan pengaruh mereka, serta perpaduan antara fakta dan legenda urban yang berkembang di masyarakat.

Terminologi ini pertama kali muncul pada era Orde Baru, awalnya dengan konotasi negatif sebagai "Gang of Nine" yang dihubungkan dengan bisnis ilegal, sebelum kemudian bertransformasi untuk menggambarkan para taipan super kaya yang mendominasi perekonomian formal. Istilah ini tetap signifikan karena berfungsi sebagai jalan pintas publik untuk membahas isu-isu konsentrasi kekayaan, keterkaitan politik-ekonomi, dominasi bisnis etnis Tionghoa, dan kekuasaan oligarki yang langgeng.

Laporan ini bertujuan untuk membedah secara kritis akar sejarah, dugaan komposisi, pengaruh multifaset (ekonomi dan politik), kontroversi utama, dan relevansi kontemporer dari "9 Naga". Penekanan akan diberikan pada upaya memisahkan realitas yang terdokumentasi dan analisis kredibel dari mitos yang meresap serta spekulasi yang tidak berdasar, dengan merujuk secara ekstensif pada materi penelitian yang tersedia. Ruang lingkup laporan ini mencakup periode Orde Baru hingga saat ini, dengan fokus tematik pada patronase, struktur konglomerasi, pengaruh kebijakan, krisis, persepsi publik, dan evolusi narasi "9 Naga".

I. Genesis "9 Naga": Asal-Usul dan Patronase Orde Baru

Kelahiran fenomena "9 Naga" tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial-politik dan ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru. Rezim ini, dengan karakteristiknya yang sentralistik dan otoriter, menciptakan sebuah ekosistem unik yang memungkinkan tumbuhnya hubungan erat antara penguasa dan segelintir pengusaha.

  • Kemunculan Selama Orde Baru: "Gang of Nine" dan Konotasi Awal.
    Istilah "9 Naga" atau pendahulunya, "Gang of Nine", mulai mengemuka pada masa pemerintahan Soeharto. Periode ini ditandai oleh kontrol negara yang kuat dan relasi yang rapat, seringkali buram, antara elite penguasa (termasuk tokoh-tokoh militer) dengan sekelompok pengusaha terpilih, yang mayoritas adalah keturunan Tionghoa-Indonesia.
    Awalnya, istilah ini sarat dengan konotasi negatif dan "seram", diasosiasikan dengan bisnis-bisnis ilegal seperti perjudian, perdagangan narkoba, dan penyelundupan. Kelompok ini dipersepsikan beroperasi di atas hukum berkat adanya dukungan kuat dari pihak-pihak berkuasa. Angka "9" sendiri memiliki signifikansi budaya baik dalam tradisi Tionghoa (panjang umur, keberuntungan) maupun Jawa (kesempurnaan, keindahan) , yang mungkin turut berkontribusi pada aura mistis dan ketahanan label tersebut, meskipun aspek ini sekunder dibandingkan dinamika kekuasaan yang ada. Investigasi majalah Tempo bertajuk "Mafia Bisnis Tommy Winata" kerap dikutip sebagai sumber kunci yang mengaitkan "Gang of Nine" dengan aktivitas-aktivitas gelap ini.
  • Ekonomi Politik Orde Baru: Simbiosis, Patronase, dan Kronisme
    Rezim Orde Baru memupuk lingkungan di mana hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara pejabat negara dan pengusaha tertentu berkembang pesat. Sistem ini dibangun di atas fondasi patronase, di mana koneksi politik menjadi prasyarat utama bagi kesuksesan bisnis.
    Konglomerasi tumbuh dengan cepat berkat mekanisme yang difasilitasi negara: akses preferensial terhadap lisensi (misalnya, Hak Pengusahaan Hutan/HPH dalam sektor kehutanan), monopoli yang direstui negara (misalnya, penggilingan tepung terigu, cengkih), akses ke kredit bank negara, dan perlindungan dari persaingan. Analisis akademis menyoroti "klientelisme yang mengakar, korupsi, lemahnya supremasi hukum, dan pengaruh oligarkis" sebagai ciri khas era ini, yang meletakkan dasar bagi konsentrasi kekayaan luar biasa yang diasosiasikan dengan "9 Naga".
    Kerahasiaan awal dan dugaan sifat ilegal yang dilekatkan pada "Gang of Nine" bukanlah sekadar sensasionalisme media, melainkan cerminan langsung dari bagaimana kekuasaan dan akumulasi kekayaan beroperasi di luar jalur formal dan transparan selama Orde Baru. "Misteri" tersebut merupakan produk sampingan dari sistem itu sendiri. Pengamatan dari berbagai sumber  menunjukkan bahwa "9 Naga" atau "Gang of Nine" era Orde Baru memiliki konotasi negatif dan misterius, terkait dengan bisnis ilegal dan dukungan kuat. Hal ini sejalan dengan deskripsi akademis tentang kronisme, patronase, dan lemahnya supremasi hukum di era Orde Baru , di mana koneksi informal dan fasilitasi negara menjadi kunci kesuksesan bisnis. Dengan demikian, ketidakjelasan transaksi bisnis-negara ini, yang seringkali melibatkan aktivitas abu-abu secara hukum atau bahkan ilegal, secara alami menumbuhkan persepsi publik tentang adanya kelompok bayangan yang sangat berkuasa dan beroperasi di balik layar. "Misteri" tersebut bukan hanya tentang siapa mereka, tetapi bagaimana mereka menjadi begitu berkuasa. Legenda "9 Naga" berakar kuat dalam realitas struktural tata kelola Orde Baru, di mana kekuasaan informal dan jaringan tersembunyi lebih signifikan daripada institusi formal bagi penciptaan kekayaan elite. Istilah tersebut menjadi cara bagi publik untuk mengkonseptualisasikan kekuasaan yang tidak akuntabel ini.
  • Pembinaan konglomerat terpilih oleh Orde Baru.
    Meskipun sarat dengan kronisme, juga dapat ditafsirkan sebagai bagian dari strategi Soeharto untuk pembangunan ekonomi dan stabilitas politik, dengan mengandalkan elite bisnis yang loyal untuk mendorong pertumbuhan. Namun, hal ini menciptakan struktur oligarkis yang mengakar dan bertahan melampaui rezimnya. Berbagai sumber  menyebutkan adanya "simbiosis mutualisme" antara penguasa dan pengusaha selama Orde Baru. Kebijakan seperti Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)  serta proyek infrastruktur besar  bertujuan untuk menggenjot ekonomi. Sumber akademis  mencatat bahwa kebijakan Orde Baru mendukung pertumbuhan pesat konglomerat, yang sering didominasi oleh keluarga atau kelompok tertentu. Ini dipandang sebagai cara untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Rezim Soeharto kemungkinan melihat para pengusaha pilihan ini bukan hanya sebagai kroni tetapi sebagai mitra penting dalam agenda pembangunannya. Dengan memberi mereka fasilitas dan perlindungan, negara bertujuan membangun industri dan infrastruktur nasional dengan cepat. Ini adalah bentuk pembangunan yang dipimpin negara yang bergantung pada kelas kapitalis yang loyal. Meskipun strategi ini mencapai pertumbuhan ekonomi tertentu , ketergantungannya pada patronase dan penciptaan konglomerat yang kuat dan terlindungi menyebabkan kerugian signifikan: korupsi masif, ketidaksetaraan ekonomi, dan pembentukan oligarki yang pengaruhnya terbukti sulit dibongkar bahkan setelah jatuhnya Orde Baru. "9 Naga" adalah pewaris paling kasat mata dari pilihan strategis ini.
Studi Kasus: Contoh Ilustratif Pembangunan Konglomerat dan Hubungan Bisnis-Negara Selama Orde Baru
  • Sektor Kehutanan: Eksploitasi sumber daya hutan Indonesia yang luas menjadi contoh nyata. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan membuka pintu bagi distribusi HPH. Izin-izin ini seringkali diberikan berdasarkan kedekatan dengan Soeharto dan kroni-kroninya, yang mengarah pada apa yang digambarkan oleh Jeffrey Winters sebagai sistem "mirip mafia". Tokoh-tokoh seperti Bob Hasan ("Raja Hutan Indonesia") meraup kekayaan melalui konsesi semacam itu, seringkali dengan konsekuensi ekologis yang menghancurkan.
  • Salim Group (Liem Sioe Liong): Kebangkitan Salim Group milik Liem Sioe Liong, yang mencakup entitas seperti Bank Central Asia (BCA), Indofood (Indomie, monopoli tepung Bogasari), dan Indocement, menjadi contoh kronisme Orde Baru. Hubungan dekatnya dengan Soeharto memberinya akses ke monopoli krusial (misalnya, tepung terigu, cengkih yang dibagi dengan Probosutedjo) dan fasilitas keuangan, yang memungkinkan ekspansi besar-besaran grup tersebut. Konsep "cukong" (pemodal kaya Tionghoa yang mendukung tokoh pribumi berkuasa) menjadi sentral di sini.
  • Barito Pacific (Prajogo Pangestu): "Raja kayu" lainnya yang grup Barito Pacific-nya mendapat manfaat besar dari konsesi kehutanan dan kemudian melakukan diversifikasi ke petrokimia (PT Chandra Asri). Jejaknya juga menggambarkan hubungan erat dengan keluarga Cendana (keluarga Soeharto) dan isu utang kompleks yang muncul kemudian.
  • Bimantara Group (Bambang Trihatmodjo): Putra Soeharto, Bambang Trihatmodjo, melalui Bimantara Group-nya, memanfaatkan koneksi keluarganya untuk mendapatkan peluang bisnis dan monopoli yang menguntungkan, misalnya dalam penanganan kargo untuk Garuda Indonesia. Ini menyoroti keterlibatan langsung keluarga presiden dalam sistem patronase.
Dominasi pengusaha Tionghoa-Indonesia dalam narasi "9 Naga" bukan semata-mata cerminan prasangka sosial, tetapi juga konsekuensi dari kebijakan kolonial Belanda di masa lalu dan strategi Orde Baru yang menyalurkan peluang ekonomi kepada kelompok minoritas ini sambil seringkali membatasi partisipasi politik mereka, menciptakan elite ekonomi yang spesifik dan terkadang rentan. Banyak sumber mengidentifikasi "9 Naga" sebagai mayoritas Tionghoa-Indonesia. Salah satu sumber  menyebutkan tumbuhnya "sinofobia". Sumber lain  membahas sentimen anti-Tionghoa dan bagaimana hal itu digunakan dalam politik, mengaitkannya dengan label "9 Naga". Secara historis, kebijakan kolonial Belanda di Indonesia sering memposisikan minoritas Tionghoa sebagai perantara ekonomi. Selama Orde Baru, meskipun menghadapi beberapa kebijakan diskriminatif, etnis Tionghoa-Indonesia juga dipandang sebagai mitra bisnis yang dapat diandalkan oleh rezim, sebagian karena jaringan dan modal mereka yang sudah ada, serta persepsi netralitas politik mereka atau marginalisasi dari kekuasaan politik langsung.

Rezim Orde Baru merasa lebih aman secara politik untuk membina sekelompok pengusaha Tionghoa-Indonesia yang loyal yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa menimbulkan tantangan politik langsung. Hal ini menciptakan struktur ekonomi di mana kelompok ini menjadi sangat sukses secara kasat mata, tetapi juga berpotensi menjadi sasaran kebencian atau manipulasi politik. Dimensi etnis dari "9 Naga" dengan demikian merupakan hasil kompleks dari ketergantungan jalur historis dan strategi politik-ekonomi Orde Baru yang disengaja. Ini bukan hanya tentang kecakapan bisnis individu atau prasangka sederhana, tetapi fitur struktural tentang bagaimana kapitalisme Indonesia berkembang, membuat narasi "9 Naga" terkait erat dengan isu-isu yang lebih luas tentang hubungan etnis dan identitas nasional.

II. Wajah di Balik Legenda: Dugaan Anggota dan Imperium Ekonomi Mereka

Upaya untuk mengidentifikasi secara pasti siapa saja yang termasuk dalam kelompok "9 Naga" selalu menjadi tantangan. Tidak adanya daftar resmi dan sifat istilah itu sendiri sebagai konstruksi publik dan media menambah kompleksitasnya. Namun demikian, beberapa nama secara konsisten muncul dan dikaitkan dengan kekuatan ekonomi luar biasa yang dilambangkan oleh "9 Naga".
  • Mengidentifikasi "Naga": Tantangan Konfirmasi vs. Atribusi yang Persisten
    Tidak ada daftar resmi dan konklusif mengenai anggota "9 Naga". Istilah ini sebagian besar merupakan konstruksi media dan publik, bukan sebuah organisasi formal. Meskipun demikian, beberapa nama tertentu secara konsisten muncul dalam laporan media dan diskursus publik sebagai dugaan anggota.
    Beberapa individu, seperti Tomy Winata dan Sugianto Kusuma (Aguan), secara terbuka membantah atau menyatakan kebingungan mengenai label tersebut, menganggapnya sebagai imajinasi atau merugikan. Namun, bantahan ini tidak mengurangi penggunaan populer istilah tersebut.
    Penting untuk membedakan antara "Gang of Nine" awal yang diasosiasikan dengan aktivitas ilegal (seringkali mencakup nama-nama seperti Aguan, Yorrys Raweyai, Arie Sigit, Edi Porkas, Kumala bersaudara, Johnny Kesuma, Arief Cocong, dan Tommy Winata – ) dan aplikasi "9 Naga" yang lebih luas dan belakangan untuk mencakup para taipan terkaya dan paling berpengaruh, banyak di antaranya mengoperasikan konglomerasi besar yang terdaftar secara publik. Evolusi dalam penamaan ini mencerminkan pergeseran persepsi dan mungkin target pengawasan publik.
  • Profil Tokoh Kunci dan Konglomerasi (Daftar Kontemporer)
    Bagian ini akan memprofilkan tokoh-tokoh kontemporer yang paling sering dikutip, merinci konglomerasi mereka, sektor utama, dan kepemilikan signifikan. Daftar ini dinamis dan bervariasi antar sumber, tetapi nama-nama kunci yang berulang meliputi:
  1. Robert Budi Hartono (dan Michael Hartono): Djarum Group (tembakau), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) (perbankan, dengan PT Dwimuria Investama Andalan memegang 54,94% saham BCA), Polytron (elektronik), Blibli.com (e-commerce), Mola TV (media), klub sepak bola Como 1907, investasi di bidang telekomunikasi dan kelapa sawit.
  2. Anthoni Salim: Salim Group, Indofood (Indomie, Bogasari - pengolahan makanan, barang konsumsi), Indomaret (ritel), investasi di BCA, PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI), PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN), energi, telekomunikasi. Secara historis dekat dengan lingkaran Soeharto.
  3. Tomy Winata (TW/Oe Suat Hong): Artha Graha Group/Network (perbankan - PT Bank Artha Graha Internasional Tbk (INPC), properti dan infrastruktur - Hotel Borobudur, SCBD, Kelapa Gading Square, Mangga Dua Square, Pacific Place, pertambangan, ritel, media, hiburan, telekomunikasi, yayasan Artha Graha Peduli). Hubungan dengan Aguan dan koneksi militer sering disorot.
  4. James Riady: Lippo Group (real estat, ritel, perhotelan, media, layanan kesehatan - Siloam Hospitals, pendidikan, telekomunikasi, layanan keuangan). Putra dari Mochtar Riady.
  5. Prajogo Pangestu: Barito Pacific Group (petrokimia - Chandra Asri, energi, kehutanan). Juga terlibat dalam Konsorsium Nusantara untuk IKN.
  6. Rusdi Kirana: Lion Air Group (Lion Air, Wings Air, Batik Air, Malindo Air, Thai Lion Air - penerbangan). Juga mantan anggota Wantimpres dan duta besar.
  7. Sofjan Wanandi (Liem Bian Koen): Santini Group (sebelumnya Gemala Group) (properti, otomotif, farmasi, pertambangan, memiliki klub sepak bola Tranmere Rovers).
  8. Dato Sri Tahir: Mayapada Group (perbankan - PT Bank Mayapada Internasional Tbk (MAYA), layanan kesehatan/rumah sakit - PT Sejahtera Anugrahjaya Tbk (SRAJ), asuransi, properti). Menantu Mochtar Riady, mantan anggota Wantimpres.
  9. Edwin Soeryadjaya: PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG), PT Astra International (secara historis), Bank Summa, Ortus Group (investasi, sumber daya). Putra dari William Soeryadjaya.
  10. Sugianto Kusuma (Aguan): Agung Sedayu Group (pengembangan properti - mis. Pantai Indah Kapuk/PIK). Tokoh kunci dalam Konsorsium Nusantara untuk IKN. Kaitan historis dengan Tommy Winata dan militer.
  11. Franky Oesman Widjaja (dan Keluarga Widjaja): Sinar Mas Group (pulp dan kertas - Asia Pulp & Paper/APP, agribisnis, real estat - Sinarmas Land/BSD City, layanan keuangan, energi, pertambangan). Putra dari Eka Tjipta Widjaja. Terlibat dalam Konsorsium Nusantara.
  12. Jacob Soetoyo: PT Gesit Sarana Perkasa (properti - Hotel JS Luwansa), Surya Citra Media, PT Alakasa Industrindo Tbk, dewan pengawas CSIS. Dikenal memiliki jaringan internasional.
Label "9 Naga" bersifat dinamis dan merupakan konstruksi yang berkembang. Daftar individu yang diasosiasikan dengannya tidak statis; telah bergeser dari fokus awal pada tokoh-tokoh yang diduga terlibat dalam ekonomi "abu-abu" atau ilegal ("Gang of Nine") menjadi penunjukan yang lebih luas untuk para taipan terkaya dan paling berkuasa di negara ini, banyak di antaranya kini memimpin konglomerasi yang terdiversifikasi dan diakui publik.

Sebutan awal  mencantumkan nama-nama seperti Yorrys, Arie Sigit, Edi Porkas, Kumala bersaudara bersama Aguan dan Tommy Winata, sering dikaitkan dengan "bisnis gelap". Daftar yang lebih kontemporer  lebih fokus pada tokoh-tokoh seperti Hartono bersaudara, Anthoni Salim, James Riady, Prajogo Pangestu, dan lainnya, yang dikenal memimpin kerajaan bisnis besar yang seringkali terdaftar di bursa. Sumber seperti  secara eksplisit menyatakan bahwa konotasi "Sembilan Naga" bergeser dari negatif/misterius (bisnis ilegal) pasca-Orde Baru menjadi lebih netral, merujuk pada pengusaha yang mendominasi ekonomi Indonesia. Sumber juga mencatat evolusi ini.

Dengan demikian, label "9 Naga" telah beradaptasi untuk mencerminkan perubahan dalam ekonomi politik Indonesia. Seiring dengan memudarnya sistem patronase langsung Orde Baru dan beberapa bisnis bertransisi ke struktur yang lebih formal (meskipun masih sangat kuat), pemahaman publik dan media tentang siapa yang merupakan kelompok elite ini juga berkembang. Gagasan inti tentang kekuasaan yang terkonsentrasi dan seringkali tidak akuntabel tetap ada, tetapi "wajah" dan sifat bisnis utama mereka telah meluas. Dinamisme ini berarti bahwa setiap analisis tentang "9 Naga" harus mempertimbangkan konteks historis kapan istilah tersebut digunakan dan kepada siapa istilah itu merujuk. Ini bukanlah kelompok yang tetap, melainkan representasi simbolis dari kekuatan ekonomi tingkat atas yang beradaptasi dengan lanskap sosial-ekonomi yang berlaku. "Misteri" tersebut sebagian terletak pada fluiditas ini.

Berikut adalah tabel yang merangkum beberapa tokoh kunci yang sering dikaitkan dengan "9 Naga", konglomerasi utama mereka, dan sektor bisnis inti:


Nama Tokoh Konglomerasi Utama Sektor Bisnis Utama (Contoh Kepemilikan/Merek Utama)
Robert Budi & Michael Hartono Djarum Group, PT Dwimuria Investama Andalan Tembakau (Djarum), Perbankan (BCA), Elektronik (Polytron), E-commerce (Blibli.com), Media (Mola TV)
Anthoni Salim Salim Group Makanan & Minuman (Indofood, Indomie, Bogasari), Ritel (Indomaret), Perbankan, Energi, Properti (PIK2), Pertambangan (AMMN)
Tomy Winata Artha Graha Group/Network Perbankan (Bank Artha Graha), Properti & Infrastruktur (SCBD, Hotel Borobudur), Pertambangan, Ritel, Media
James Riady Lippo Group Real Estat, Ritel, Perhotelan, Layanan Kesehatan (Siloam Hospitals), Pendidikan, Media, Telekomunikasi, Layanan Keuangan
Prajogo Pangestu Barito Pacific Group Petrokimia (Chandra Asri), Energi, Kehutanan
Rusdi Kirana Lion Air Group Penerbangan (Lion Air, Batik Air, Wings Air)
Sofjan Wanandi Santini Group (d/h Gemala Group) Properti, Otomotif, Farmasi, Pertambangan
Dato Sri Tahir Mayapada Group Perbankan (Bank Mayapada), Layanan Kesehatan & Rumah Sakit (SRAJ), Asuransi, Properti
Edwin Soeryadjaya PT Saratoga Investama Sedaya Tbk, Ortus Group Investasi, Sumber Daya Alam (sebelumnya signifikan di Astra International)
Sugianto Kusuma (Aguan) Agung Sedayu Group Pengembangan Properti (Pantai Indah Kapuk)
Franky O. Widjaja (Keluarga Widjaja) Sinar Mas Group Pulp & Kertas (APP), Agribisnis, Real Estat (Sinarmas Land, BSD City), Layanan Keuangan, Energi, Pertambangan
Jacob Soetoyo PT Gesit Sarana Perkasa, Surya Citra Media (SCM) Properti (JS Luwansa Hotel), Media (SCTV, Indosiar via SCM), Industri (Alakasa Industrindo)

  • Jejak Global: Operasi Internasional dan Jangkauan Pasar
    Banyak dari konglomerasi ini tidak terbatas di Indonesia tetapi memiliki operasi dan investasi internasional yang signifikan.
  1. Salim Group: Indomie didistribusikan di lebih dari 100 negara. Salim Group juga memiliki kepentingan bisnis di Singapura, Hong Kong, Manila, Australia, Nigeria, dan Eropa. Anak perusahaannya seperti PT London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) adalah pemain utama dalam agribisnis.
  2. Sinar Mas Group: Asia Pulp & Paper (APP) adalah salah satu produsen pulp dan kertas terbesar di dunia. Sinarmas Land memiliki pengembangan properti di luar Indonesia. Grup ini memiliki jejak bisnis di berbagai benua.
  3. Lippo Group: Memiliki operasi di kawasan Asia Pasifik, di luar jaringan luasnya di Indonesia dalam bidang layanan kesehatan, properti, dan ritel.
  4. Djarum Group (Hartono Bersaudara): Meskipun rokok Djarum adalah inti bisnisnya, investasi mereka di perusahaan teknologi global Razer  dan kepemilikan klub sepak bola Italia Como 1907  menunjukkan diversifikasi internasional.
  5. Gudang Garam: Dikenal di pasar ekspor, memperkenalkan budaya tembakau Indonesia secara global.
  6. Indorama Corp (Sri Prakash Lohia): Meskipun Lohia sering terdaftar di antara orang terkaya Indonesia, dan Indorama adalah raksasa petrokimia global, penyertaannya secara langsung dalam narasi "9 Naga" kurang konsisten dalam cuplikan yang diberikan dibandingkan dengan yang lain, tetapi skala bisnis globalnya patut dicatat.
Ekspansi internasional konglomerasi ini  menandakan tidak hanya kecakapan bisnis tetapi juga strategi untuk mendiversifikasi aset, mengakses modal global, dan berpotensi meningkatkan pengaruh politik mereka baik di dalam negeri maupun internasional. Berbagai sumber  merinci jangkauan internasional grup seperti Salim (Indomie di 100+ negara, bisnis lain secara global), Sinar Mas (APP sebagai raksasa kertas global, jejak di berbagai benua), Lippo (operasi Asia Pasifik), dan Djarum (Razer, Como 1907). Hal ini sejalan dengan tren globalisasi yang lebih luas dan munculnya perusahaan multinasional dari pasar berkembang.

Bagi konglomerat Indonesia, ini juga merupakan langkah di luar patronase Orde Baru yang sebagian besar berfokus pada domestik. Internasionalisasi memberikan beberapa keuntungan bagi kelompok-kelompok ini: akses ke pasar yang lebih besar dan aliran pendapatan baru, diversifikasi terhadap risiko politik atau ekonomi domestik, akses ke keuangan dan teknologi internasional, dan profil global yang ditingkatkan yang dapat diterjemahkan menjadi prestise dan pengaruh yang lebih besar. "9 Naga" bukan lagi hanya pemain kekuasaan Indonesia; mereka semakin menjadi aktor regional atau global. Dimensi internasional ini menambah lapisan lain pada kekuatan mereka, berpotensi membuat mereka tidak semata-mata bergantung pada patronase politik domestik dan memberi mereka jalur baru untuk pengaruh dan akumulasi modal. Ini juga mempersulit upaya regulasi atau akuntabilitas di tingkat nasional.

III. Tentakel Kekuasaan: Pengaruh Ekonomi dan Politik

Dominasi yang dikaitkan dengan "9 Naga" tidak hanya terbatas pada angka-angka kekayaan, tetapi merasuk ke dalam struktur ekonomi dan lorong-lorong kekuasaan politik Indonesia. Pengaruh ini, yang berakar pada era Orde Baru, terus beradaptasi dan menemukan bentuk-bentuk baru di era kontemporer.
  • Dominasi Ekonomi: Konsentrasi Kekayaan, Kontrol Sektor Strategis, dan Dampak Pasar
    Konglomerasi yang diasosiasikan dengan "9 Naga" menguasai sebagian besar perekonomian Indonesia, dengan pangsa pasar yang signifikan di sektor-sektor strategis seperti perbankan, real estat, manufaktur, ritel, agribisnis, pertambangan, energi, media, dan telekomunikasi. Sumber  menggambarkan bagaimana kehidupan sehari-hari orang Indonesia bersentuhan dengan konglomerasi ini (Indomie/Salim, mobil/Astra, minyak sawit/Sinar Mas, Bakrie).
    Konsentrasi kekuatan ekonomi di tangan segelintir pihak ini menimbulkan kekhawatiran tentang praktik monopoli, berkurangnya persaingan pasar, dan melebarnya ketidaksetaraan ekonomi. Investasi mereka diakui berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, terutama selama Orde Baru , tetapi distribusi manfaat dan dampak struktural jangka panjangnya masih menjadi perdebatan.
Pengaruh Politik – Dari Soeharto hingga Saat Ini:
  • Ikatan Historis: Sebagaimana telah dibahas pada Bagian I, hubungan yang mengakar dengan elite politik dan militer menjadi dasar selama Orde Baru. Ikatan ini memfasilitasi perlakuan istimewa dan keuntungan kebijakan.
  • Adaptasi Pasca-Soeharto dan Strategi yang Berkembang: Dengan jatuhnya Soeharto dan munculnya demokrasi, metode untuk menggunakan pengaruh politik telah berkembang dan terdiversifikasi:
  1. Pendanaan Kampanye: Biaya politik yang tinggi dalam pemilu di Indonesia menciptakan ketergantungan pada donatur kaya, termasuk para taipan ini, yang berpotensi menghasilkan pengaruh kebijakan sebagai imbalan atas dukungan finansial. Oligarki menjadi pemain kunci karena mahalnya biaya partisipasi politik.
  2. Lobi Tingkat Tinggi: Keterlibatan langsung dengan pembuat kebijakan dan pejabat pemerintah tetap menjadi strategi utama. Kehadiran tokoh seperti Jacob Soetoyo di dewan CSIS  atau peran menteri di masa lalu yang dipegang oleh tokoh seperti Chairul Tanjung  menunjukkan adanya jalur untuk pengaruh semacam itu. Karya Faris Al-Fadhat menunjukkan bagaimana kementerian seperti Perdagangan dan Investasi sering dipimpin oleh tokoh-tokoh yang memiliki hubungan dekat dengan elite bisnis (Mari Elka Pangestu/Sofjan Wanandi, Gita Wirjawan/Ancora, M. Lutfi/Mahaka, dll.), memungkinkan konglomerat untuk membentuk kebijakan ekonomi demi ekspansi regional.
  3. Kepemilikan Media: Beberapa grup media besar dimiliki oleh konglomerat atau tokoh yang berafiliasi politik (misalnya, MNC Group/Hary Tanoesoedibjo/Perindo, Media Group/Surya Paloh/Nasdem, Viva Group/Bakrie/Golkar, Trans Group/Chairul Tanjung). Kepemilikan ini dapat digunakan untuk membangun citra, membentuk opini publik, propaganda partisan, dan memajukan agenda politik, terutama selama pemilu (misalnya, pemilu 2014, 2019). Hal ini mengikis independensi media dan dapat berdampak pada kualitas demokrasi.
  4. Keterlibatan Politik Langsung: Beberapa taipan atau anggota keluarga mereka telah terjun langsung ke dunia politik (misalnya, Hary Tanoesoedibjo, Surya Paloh, Rusdi Kirana sebagai mantan anggota Wantimpres , Dato Sri Tahir sebagai mantan anggota Wantimpres ).
  5. Keberlangsungan Oligarki: Meskipun ada reformasi, struktur oligarkis tetap bertahan, dengan aktor ekonomi yang kuat terus memegang pengaruh politik yang signifikan, terkadang bertindak sebagai "regulator dan eksekutor" dalam sistem negara.
Fenomena "pintu putar" (revolving door), di mana individu berpindah antara posisi tinggi di pemerintahan (terutama kementerian ekonomi) dan peran kepemimpinan di konglomerasi besar (seperti yang dirinci oleh Faris Al-Fadhat dalam ), bukanlah suatu kebetulan melainkan fitur struktural ekonomi politik Indonesia. Hal ini memfasilitasi pemahaman mendalam dan manipulasi kebijakan dari kedua belah pihak.

Sumber  mencantumkan beberapa Menteri Perdagangan/Investasi (Mari Elka Pangestu, Gita Wirjawan, M. Lutfi, Rachmat Gobel, Thomas Lembong, Enggartiasto Lukita) yang memiliki afiliasi kuat dengan grup bisnis besar (Santini Group, Ancora Capital, Mahaka Group, Panasonic Gobel, Quvat Capital, sektor properti). Pola ini, yang sering disebut "pintu putar," adalah mekanisme yang dikenal untuk pengaruh korporat di banyak negara. Di Indonesia, hal ini tampak sangat menonjol di kementerian yang secara langsung membentuk kebijakan ekonomi dan investasi.

Ini bukan hanya tentang korupsi individu tetapi integrasi sistemik kepentingan bisnis ke dalam aparatur negara. Individu dengan pengalaman bisnis dan jaringan yang mendalam ditempatkan pada posisi di mana mereka dapat merancang kebijakan yang menguntungkan jaringan tersebut. Sebaliknya, mantan pejabat tinggi dapat memanfaatkan pengalaman dan koneksi pemerintah mereka untuk keuntungan perusahaan. Keterkaitan sistemik ini mengaburkan batas antara kepentingan publik dan keuntungan pribadi, sehingga sulit untuk memberlakukan kebijakan yang mungkin benar-benar menantang dominasi konglomerat yang sudah mapan ini. Hal ini melembagakan pengaruh "9 Naga" dan kelompok oligarkis serupa.

Pengaruh pada Kebijakan Utama dan Proyek Nasional:

  • Legislasi: Dugaan dan analisis menunjukkan potensi pengaruh dalam perumusan undang-undang kunci, seperti Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), yang menurut para kritikus lebih menguntungkan perusahaan besar dan oligarki daripada buruh dan lingkungan. Demikian pula, perubahan pada Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) telah diteliti karena berpotensi menguntungkan kepentingan pertambangan yang sudah mapan dan jaringan oligarkis.
  • Pembangunan IKN ("Konsorsium Nusantara"): Keterlibatan konsorsium konglomerat besar (termasuk yang terkait dengan Aguan, Salim Group, Sinar Mas, Barito Pacific, Astra) dalam pembangunan ibu kota baru, Nusantara (IKN), adalah contoh kontemporer yang menonjol dari peran mereka dalam proyek strategis nasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang transparansi, distribusi manfaat yang adil, dan implikasi jangka panjang dari keterlibatan sektor swasta yang terkonsentrasi dalam megaproyek yang dipimpin negara. Pemerintah memandang investasi swasta, yang difasilitasi oleh skema seperti Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dan periode HGU/HGB yang panjang, sebagai hal penting untuk pendanaan IKN.
  • Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI): Masterplan ini, menurut Faris Al-Fadhat, mencakup prioritas untuk menghubungkan operasi konglomerat dengan modal regional, khususnya melalui integrasi ekonomi ASEAN, yang menunjukkan dukungan negara untuk ekspansi internasional mereka.
Kepemilikan media oleh konglomerat  berfungsi tidak hanya sebagai alat langsung untuk pesan politik dan dukungan partisan tetapi juga sebagai sarana untuk membentuk narasi publik yang lebih luas yang melegitimasi kegiatan ekonomi dan kedudukan sosial mereka, berpotensi menangkis kritik atau pengawasan. Grup media besar (MNC, Media Group, Viva, Trans) dimiliki oleh tokoh-tokoh dengan afiliasi politik yang kuat atau peran politik langsung. Media-media ini digunakan untuk "personalisasi, pembangunan citra, dan pembentukan opini partisan". Kontrol atas arus informasi adalah sumber kekuasaan yang signifikan.

Di luar kampanye pemilihan langsung, media membentuk pemahaman publik tentang isu-isu kompleks, termasuk kebijakan ekonomi, perilaku perusahaan, dan tanggung jawab sosial. Media milik konglomerat dapat secara halus (atau terang-terangan) membingkai berita dan analisis dengan cara yang menguntungkan kepentingan bisnis atau sekutu politik mereka. Ini dapat mencakup promosi kebijakan pro-bisnis, menyoroti upaya filantropi mereka, meremehkan kontroversi, atau mendiskreditkan para kritikus.

Ini adalah alat untuk manuver politik ofensif dan manajemen reputasi defensif. Hal ini menciptakan medan permainan yang tidak setara dalam wacana publik, mempersulit suara-suara alternatif atau kritis untuk didengar. Ini berkontribusi pada "misteri" dengan memungkinkan kelompok-kelompok ini untuk mengkurasi citra publik mereka dan mengendalikan narasi, berpotensi menutupi sejauh mana atau dampak negatif dari pengaruh mereka. Model afiliasi "ekstrem" dan "kuat" yang dijelaskan dalam  untuk MNC dan Media Group masing-masing menunjukkan integrasi mendalam peran media, partai, dan pemerintah.

Ekspos Terkemuka:
  • WikiLeaks (2011): Kawat diplomatik AS yang bocor menyoroti dugaan hubungan dekat antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu dan Tomy Winata, dengan T.B. Silalahi disebut sebagai perantara. Kawat ini juga menyebutkan adanya korupsi di dalam pemerintahan SBY. Tomy Winata membantah tuduhan ini. Insiden ini membawa isu hubungan politik-bisnis tingkat tinggi menjadi sorotan internasional yang tajam.
Keterlibatan signifikan "Konsorsium Nusantara" (yang terdiri dari konglomerat mapan) dalam proyek IKN  menunjukkan bagaimana kelompok-kelompok kuat ini menjadi pusat, dan kemungkinan penerima manfaat utama, dari inisiatif pembangunan besar yang dipimpin negara, berpotensi semakin memperkuat dominasi ekonomi dan politik mereka di bawah panji kepentingan nasional. Sumber  secara eksplisit menyebutkan tokoh-tokoh seperti Sugianto Kusuma (Aguan), Franky Widjaja (Sinar Mas), Prajogo Pangestu (Barito Pacific), dan grup seperti Salim dan Astra sebagai bagian dari "Konsorsium Nusantara" yang berinvestasi besar-besaran di IKN. Pemerintah secara aktif mencari investasi swasta untuk IKN.

Secara historis, proyek-proyek negara besar selama Orde Baru adalah jalur utama untuk patronase dan akumulasi kekayaan bagi bisnis yang terkoneksi. Proyek IKN, meskipun dibingkai sebagai keharusan strategis nasional, memberikan peluang baru berskala besar bagi konglomerat mapan ini untuk mendapatkan kontrak yang menguntungkan, konsesi lahan (periode HGU/HGB yang panjang ), dan berpotensi membentuk jalur pembangunan dengan cara yang menguntungkan kepentingan bisnis mereka yang beragam (properti, infrastruktur, jasa).

Keterlibatan ini dapat menyebabkan konsentrasi kekayaan dan pengaruh lebih lanjut, berpotensi merugikan pemain yang lebih kecil, masyarakat lokal, atau masalah lingkungan  (yang mengangkat kritik umum tentang IKN). Ini menunjukkan kesinambungan aliansi negara-modal di Indonesia kontemporer, di mana tujuan pembangunan nasional dan kepentingan oligarkis menjadi sangat terkait, memperkuat "9 Naga" sebagai pemain sentral di masa depan bangsa.

IV. Kontroversi, Krisis, dan Persepsi Publik: Mendekonstruksi "Misteri"

Narasi "9 Naga" tidak hanya dibangun di atas kisah sukses bisnis semata, tetapi juga diwarnai oleh berbagai kontroversi, tuduhan aktivitas ilegal, dan dampak krisis ekonomi besar. Persepsi publik yang terbentuk seringkali merupakan campuran antara fakta, investigasi jurnalistik, dan legenda urban yang terus hidup.
  • Ekonomi Bayangan: Tuduhan Bisnis Ilegal dan Persepsi Impunitas
    Iterasi awal "9 Naga" sebagai "Gang of Nine" sangat terkait dengan "bisnis remang-remang", termasuk perjudian, narkoba, dan penyelundupan. Mereka dipersepsikan memiliki "bekingan" yang kuat, membuat mereka seolah-olah tak tersentuh oleh aparat penegak hukum.

    Investigasi Tempo "Mafia Bisnis Tommy Winata": Seri investigasi ini  menjadi landasan dari tuduhan-tuduhan ini. Sinopsis buku  mempertanyakan apakah kesuksesan Tomy Winata disebabkan oleh kedekatannya dengan tokoh militer dan Keluarga Cendana, dan apakah ia bagian dari "Gang of Nine" yang mengendalikan perdagangan ilegal. Meskipun temuan spesifik dari buku tersebut tidak dirinci dalam cuplikan yang ada, keberadaan dan fokusnya sangat signifikan dalam membentuk narasi "9 Naga". Sumber  menyebutkan Aguan memperkenalkan Tommy Winata kepada sebuah yayasan TNI AD, yang berujung pada akuisisi Bank Propelat (kemudian menjadi Artha Graha). Sumber  mencatat kebangkitan TW dari kemiskinan, dengan proyek-proyek militer menjadi titik balik.
Krisis Keuangan Asia (1997-98) dan Implikasinya:
  • Dampak terhadap Konglomerat: Krisis ini berdampak parah pada konglomerat Indonesia, banyak di antaranya telah mengakumulasi utang swasta dalam mata uang asing dalam jumlah besar. Kebijakan pemerintah yang mempertahankan nilai rupiah yang terlalu tinggi dan suku bunga domestik yang tinggi telah membuat pinjaman luar negeri menarik tetapi berisiko. Depresiasi tajam rupiah melumpuhkan kemampuan mereka untuk membayar kembali utang.
  • Skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia): Untuk mencegah keruntuhan sistemik sektor perbankan, Bank Indonesia menyalurkan bantuan likuiditas (BLBI) dalam jumlah besar. Namun, sebagian besar dana ini diduga disalahgunakan oleh pemilik bank penerima, banyak di antaranya adalah pimpinan konglomerat terkemuka. Ini menjadi salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia, dengan kerugian negara diperkirakan mencapai ratusan triliun rupiah, berpotensi mencapai Rp 5000 triliun pada tahun 2043.
  • Peran BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional): BPPN didirikan pada Januari 1998 untuk merestrukturisasi utang konglomerat dan memulihkan dana negara. Ini melibatkan pengambilalihan aset, pertukaran utang menjadi ekuitas (debt-to-equity swap), dan penjualan aset.
Studi Kasus Restrukturisasi Konglomerat/Keterlibatan BLBI:
  • Lippo Group: Aset bekas Bank Lippo Karawaci diserahkan kepada BPPN. Pada tahun 2021, Satgas BLBI menyita aset tanah di Lippo Karawaci senilai Rp 1,3 triliun, yang telah menjadi milik negara sejak tahun 2001 sebagai bagian dari penyelesaian kewajiban BLBI. Lippo sendiri membantah pernah menerima dana BLBI secara langsung.
  • Salim Group: Krisis memaksa Salim Group untuk mendivestasi aset signifikan, termasuk saham mayoritas di BCA (yang kemudian diakuisisi oleh Djarum Group ) dan Indocement. Meskipun demikian, grup ini berhasil bertahan dan membangun kembali. Salim Group adalah salah satu obligor utama yang menerima SKL (Surat Keterangan Lunas) di bawah Presiden Megawati, meskipun audit BPK kemudian menemukan kewajiban yang belum diselesaikan dalam jumlah besar.
  • Texmaco Group: Diambil alih oleh BPPN karena utang besar (Rp 29,04 triliun). Asetnya sulit didivestasi, dan terjadi pertarungan hukum terkait perjanjian restrukturisasi.
  • Gajah Tunggal Group: Disebutkan bersama Texmaco memiliki masalah terkait BLBI yang ditangani oleh BPPN.
  • Barito Pacific Group (Prajogo Pangestu): Merupakan debitur besar BPPN. PT TEL (pabrik pulp) berutang USD 370 juta. Terdapat tuduhan penipuan terhadap BPPN terkait aset seperti Bank Andromeda dan PT Chandra Asri.
  • Sinar Mas Group (Eka Tjipta Widjaja): Juga terdaftar di antara "raja kayu" dengan utang signifikan selama krisis.
Kontroversi SKL: Penerbitan SKL kepada beberapa obligor, yang secara efektif membebaskan mereka dari tuntutan hukum lebih lanjut jika mereka memenuhi kewajiban tertentu, menjadi sangat kontroversial, dengan tuduhan bahwa banyak yang masih memiliki utang yang belum diselesaikan atau belum memenuhi komitmen mereka dengan itikad baik. Upaya KPK untuk menyelidiki korupsi terkait SKL menghadapi tantangan, termasuk dugaan pelemahan institusi tersebut.

Skandal BLBI, meskipun awalnya mengancam banyak konglomerat, pada akhirnya proses penyelesaiannya (termasuk restrukturisasi aset oleh BPPN dan SKL yang kontroversial) memungkinkan banyak pemain kuat untuk mengkonsolidasikan posisi mereka, melepaskan utang yang tidak dapat dikelola, dan bahkan mengakuisisi kembali aset, seringkali dengan persyaratan yang menguntungkan. Negara secara efektif menyerap kerugian besar.

Krisis 1997-98 menyebabkan utang swasta yang besar. Dana BLBI disalurkan, sering disalahgunakan. BPPN dibentuk untuk merestrukturisasi utang dan memulihkan aset. SKL diterbitkan, tetapi banyak obligor diduga masih memiliki utang yang belum lunas. Salah satu sumber  menyatakan, "Hasil kejahatan BLBI telah beranak pinak menjadi konglomerasi kuat di Indonesia."

Sumber mencatat bahwa Salim Group harus mendivestasi BCA dan Indocement tetapi selamat dan berekspansi secara global. Sumber  merinci bagaimana Prajogo Pangestu mengatasi utang besar dan tuduhan, dengan pemerintah akhirnya menghapuskan sebagian besar utang Chandra Asri. Krisis dan dampaknya, khususnya penanganan BLBI, secara paradoks menjadi peluang bagi oligarki yang paling kuat dan terkoneksi untuk tidak hanya bertahan tetapi juga merestrukturisasi kerajaan mereka, seringkali dengan persyaratan menguntungkan yang dinegosiasikan dengan negara (melalui BPPN).

Pemain yang lebih lemah mungkin telah tersingkir, tetapi entitas yang "terlalu besar untuk gagal" atau "terlalu terkoneksi untuk gagal" berhasil mengatasi badai, dengan negara menanggung beban keuangan utama. Kisah BLBI adalah titik penting yang menunjukkan ketahanan dan kemampuan beradaptasi oligarki Indonesia. Ini menunjukkan bagaimana mekanisme negara, bahkan yang dirancang untuk penyelesaian krisis dan pemulihan, dapat dipengaruhi atau dimanfaatkan oleh aktor ekonomi yang kuat untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan dominasi jangka panjang mereka. Hal ini menambah lapisan sinisme yang mendalam pada narasi "9 Naga".

"9 Naga" sebagai Legenda Urban: Narasi Media, Wacana Publik, dan Etnisitas
Istilah "9 Naga" berfungsi sebagai legenda urban, sebuah narasi kuat yang merangkum kecemasan dan persepsi publik tentang kekayaan, kekuasaan, dan etnisitas. Ini adalah cerita yang beresonansi karena menawarkan penjelasan yang tampaknya sederhana untuk fenomena sosial-ekonomi yang kompleks.
  • Peran Media: Media telah memainkan peran penting dalam mempopulerkan dan melanggengkan istilah "9 Naga", sering menggunakannya untuk merujuk pada taipan berpengaruh tanpa harus memberikan bukti konkret tentang adanya kelompok formal yang terkoordinasi. Film "9 Naga" (2006)  juga berkontribusi pada mata uang budaya istilah tersebut, meskipun fokusnya adalah pada drama kriminal dan maskulinitas daripada taipan tertentu.
  • Etnisitas dan Sentimen Anti-Tionghoa: Identitas Tionghoa-Indonesia yang dominan dari mereka yang dilabeli "9 Naga" adalah aspek kritis dan sensitif dari narasi tersebut. Hal ini bersinggungan dengan sentimen anti-Tionghoa yang historis dan terkadang laten di Indonesia.
  1. Heryanto (2008, dikutip dalam ) berpendapat bahwa sentimen anti-Tionghoa adalah alat untuk mengelola kekuasaan selama Orde Baru.
  2. Label "9 Naga" digunakan selama pemilihan gubernur Jakarta 2017 terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mengaitkannya dengan dugaan kepentingan konglomerat Tionghoa. Ini menunjukkan kegunaan politik istilah tersebut dalam memobilisasi kecemasan berbasis etnis dan kelas.   
  3. Persepsi publik sering mengasosiasikan etnis Tionghoa-Indonesia dengan kesuksesan bisnis (68,1% responden dalam survei 2017 setuju bahwa mereka memiliki bakat alami untuk sukses dalam bisnis), kekayaan, dan menjadi bagian dari kelas menengah/atas. Persepsi ini, meskipun terkadang stereotip, memicu masuk akalnya narasi "9 Naga" bagi sebagian orang.
*Istilah itu sendiri, dengan "Naga", simbol kuat dalam mitologi Tionghoa, menambah kekuatan evokatif dan asosiasi etnisnya.

Narasi "9 Naga" berfungsi sebagai semacam tes Rorschach sosial. Kegigihan dan beragamnya interpretasi mitos "9 Naga" mencerminkan kecemasan dan keyakinan masyarakat yang lebih luas tentang bagaimana kekuasaan, kekayaan, dan etnisitas bersinggungan di Indonesia. Ini berfungsi sebagai kanvas di mana berbagai kelompok memproyeksikan ketakutan, frustrasi, dan pemahaman mereka tentang ekonomi politik bangsa. Istilah ini adalah "legenda urban". Istilah ini dikaitkan dengan bisnis ilegal , kekayaan luar biasa , koneksi politik , dan etnis Tionghoa-Indonesia. Film "9 Naga"  menambah kehadiran budayanya. Analisis sosiologis mitos sering mengungkapkan nilai-nilai masyarakat yang mendasarinya, ketegangan, dan struktur kekuasaan. Penggunaan istilah tersebut dalam kampanye politik (pemilihan Ahok - ) menunjukkan kekuatan emotifnya.

Bagi sebagian orang, "9 Naga" mungkin mewakili puncak kesuksesan kapitalis dan pembangunan nasional. Bagi yang lain, ini melambangkan kronisme, korupsi, ketidakadilan ekonomi, dan pengaruh yang tidak semestinya dari kelompok etnis tertentu. Bagi yang lain lagi, mungkin ini adalah ketakutan yang lebih umum terhadap kekuasaan yang terkonsentrasi dan tidak akuntabel.

"Misteri" memungkinkan interpretasi yang beragam ini untuk hidup berdampingan. Kisah "9 Naga" lebih dari sekadar tentang beberapa pengusaha; ini adalah cerminan dari perjuangan berkelanjutan Indonesia dengan isu-isu ketidaksetaraan ekonomi, akuntabilitas politik, hubungan etnis, dan sifat pembangunan kapitalisnya. Ketahanannya menunjukkan bahwa isu-isu mendasar ini sebagian besar tetap belum terselesaikan dalam kesadaran publik.

Persepsi "tak tersentuh" dari "9 Naga" telah berevolusi. Jika di era Orde Baru hal itu disebabkan oleh dukungan langsung dari pihak berwenang , di era Pasca-Reformasi, "ketidakterjamahan" ini mungkin lebih berasal dari sumber daya keuangan mereka yang sangat besar yang memungkinkan pembelaan hukum terbaik, koneksi politik mereka yang mempengaruhi proses peradilan, kepemilikan media mereka yang membentuk narasi publik, dan kompleksitas struktur perusahaan mereka yang membuat penuntutan menjadi sulit. "Gang of Nine" Orde Baru memiliki "bekingan kuat".

Pasca-reformasi, skandal BLBI melihat banyak obligor kuat lolos dari akuntabilitas penuh meskipun kerugian negara sangat besar. Upaya untuk menuntut, misalnya melalui investigasi SKL, menghadapi rintangan dan pelemahan KPK. Konglomerat memiliki akses ke sumber daya yang signifikan. Pengaruh politik mereka (pendanaan kampanye, lobi, media - Bagian III) meluas ke semua cabang pemerintahan, berpotensi termasuk peradilan.

Meskipun perlindungan langsung dan terang-terangan dari Orde Baru mungkin telah berkurang, kemampuan aktor ekonomi yang kuat untuk menavigasi dan mempengaruhi sistem hukum dan politik tetap substansial. Ini dapat menciptakan impunitas de facto, atau setidaknya persepsi tentang itu. Kompleksitas kejahatan keuangan kerah putih yang terlibat dalam kasus-kasus seperti BLBI juga membuat penuntutan yang berhasil secara inheren menantang. Misteri "9 Naga" sebagian dipicu oleh kemampuan yang dirasakan ini untuk menghindari akuntabilitas penuh. Ini memperkuat sinisme publik tentang supremasi hukum ketika menyangkut yang berkuasa, dan menunjukkan bahwa transisi ke demokrasi belum sepenuhnya membongkar struktur yang memungkinkan impunitas elite, melainkan mengubah mekanisme pencapaiannya.

V. Naga yang Bertahan: Relevansi Kontemporer dan Trajektori Masa Depan

Meskipun diselimuti misteri dan kontroversi, pengaruh kelompok yang dilabeli "9 Naga" tidak memudar seiring berakhirnya Orde Baru. Sebaliknya, mereka menunjukkan kemampuan adaptasi yang luar biasa, mempertahankan dan bahkan memperluas kekuasaan ekonomi dan politik mereka dalam lanskap Indonesia yang terus berubah.
  • Evolusi Konsep "9 Naga": Pergeseran Makna, Keberlangsungan Salience
    Sebagaimana telah dibahas, istilah ini telah berevolusi dari "Gang of Nine" yang spesifik dan terkait dengan aktivitas ilegal menjadi label yang lebih umum, meskipun masih agak misterius, untuk para taipan bisnis paling kuat di Indonesia. Meskipun sifatnya amorf dan tidak memiliki definisi resmi, istilah "9 Naga" tetap sangat menonjol dalam wacana publik, sering digunakan dalam diskusi tentang konsentrasi ekonomi, pengaruh politik, dan proyek pembangunan nasional. Penggunaannya yang berkelanjutan oleh media dan dalam percakapan populer (misalnya, insiden Alvin Lim ) menunjukkan kekuatannya yang abadi sebagai simbol.
  • Pengaruh Berkelanjutan: Kekuasaan Ekonomi dan Politik yang Berlangsung di Indonesia Kontemporer
    Konglomerasi yang diasosiasikan dengan "9 Naga" terus mendominasi sektor-sektor utama ekonomi Indonesia. Kapitalisasi pasar mereka seringkali termasuk yang tertinggi di Bursa Efek Indonesia (BEI).
    Pengaruh politik mereka bertahan melalui strategi yang telah disesuaikan seperti pendanaan kampanye, lobi, kepemilikan media, dan partisipasi politik langsung.
  • IKN dan "Konsorsium Nusantara": Peran menonjol mereka dalam pembangunan ibu kota baru (IKN) melalui "Konsorsium Nusantara" (Sugianto Kusuma/Aguan, Franky Widjaja/Sinar Mas, Prajogo Pangestu/Barito Pacific, Salim Group, Astra Group, dll.) adalah manifestasi kontemporer utama dari pengaruh abadi mereka dan kemitraan dengan negara dalam proyek strategis nasional. Keterlibatan ini dipandang oleh pemerintah sebagai krusial untuk pendanaan dan pembangunan.
Pengaruh terhadap Kebijakan (Contoh Kontemporer):
  • Omnibus Law (UU Cipta Kerja): Dikritik karena menguntungkan bisnis besar dan kepentingan oligarkis.
  • UU Minerba (Undang-Undang Pertambangan): Dipandang berpotensi memfasilitasi kontrol oligarkis atas sumber daya mineral.
  • Transisi Energi & Ekonomi Hijau: Keterlibatan dan potensi pengaruh konglomerat besar dalam kebijakan terkait transisi energi, kendaraan listrik (EV), industri nikel/baterai, dan perdagangan karbon merupakan area pengawasan yang muncul. Misalnya, insentif pajak EV terkadang dianggap lebih menguntungkan konglomerat.
Penelitian Faris Al-Fadhat ("Ekspansi Kapital") menganalisis transformasi dan strategi ekspansi regional konglomerat Indonesia pasca-Soeharto, menyoroti upaya mereka untuk mendapatkan dukungan politik demi integrasi ekonomi.

Relevansi berkelanjutan dari tokoh/kelompok ini berasal dari adaptasi sukses mereka dari sistem kapitalis-kroni di bawah otoritarianisme menjadi kemampuan menavigasi dan mempengaruhi sistem yang lebih kompleks dan secara formal demokratis. Strategi mereka menjadi lebih terdiversifikasi (media, pendanaan kampanye, lobi canggih, peran politik langsung) di luar patronase negara langsung. Bagian III merinci asal-usul Orde Baru mereka.

Cuplikan saat ini menunjukkan keterlibatan mereka dalam IKN , pengaruh pada undang-undang kontemporer , kepemilikan media , dan peran politik. Karya Faris Al-Fadhat secara eksplisit membahas transformasi ini. Sistem demokrasi, terutama yang memiliki biaya politik tinggi  dan kerangka peraturan yang berkembang, menghadirkan tantangan dan peluang bagi aktor ekonomi yang kuat. "9 Naga" (atau oligarki yang mereka wakili) tidak memudar bersama Orde Baru.

Sebaliknya, mereka telah belajar untuk beroperasi di dalam, dan seringkali membentuk, aturan demokrasi baru. Kekuatan ekonomi mereka menyediakan sumber daya untuk terlibat dalam politik demokrasi yang "mahal", sementara jaringan dan kecakapan bisnis mereka yang mapan memungkinkan mereka memanfaatkan peluang ekonomi baru (misalnya, ekonomi digital, transisi hijau).

Adaptabilitas ini menjadikan mereka fitur persisten dari ekonomi politik Indonesia. "Misteri" tersebut kurang tentang tokoh bayangan dari masa lalu dan lebih tentang bagaimana kekuatan ekonomi yang mengakar ini terus berkembang dan menggunakan pengaruh dalam sistem yang seharusnya lebih terbuka dan akuntabel.

Suksesi Dinasti: Peran Tokoh Generasi Kedua dan Ketiga
Banyak dari konglomerasi ini adalah bisnis milik keluarga, dan transisi kepemimpinan ke generasi kedua atau ketiga merupakan faktor kunci dalam kesinambungan dan evolusi mereka.
Contoh: Anthoni Salim (putra Sudono Salim), James Riady (putra Mochtar Riady), Edwin Soeryadjaya (putra William Soeryadjaya), keluarga Widjaja (Sinar Mas), Hartono bersaudara (kini dengan penerus mereka sendiri).
Kemampuan dinasti-dinasti ini untuk mengadaptasi strategi, mempertahankan jaringan politik, dan mengelola bisnis global yang semakin kompleks sangat penting bagi kekuatan berkelanjutan mereka. Transfer antar generasi tidak hanya kekayaan tetapi juga modal politik dan jaringan adalah aspek kunci. (Meskipun  tidak dapat diakses, ini adalah kesimpulan logis dan tema umum dalam studi konglomerat keluarga).

Transfer kontrol ke generasi berikutnya dalam konglomerasi yang dikendalikan keluarga ini  bukan hanya masalah bisnis tetapi mekanisme penting untuk pelestarian kekuasaan ekonomi dan politik yang terkonsentrasi. Para penerus ini tidak hanya mewarisi kekayaan tetapi juga jaringan dan strategi pengaruh yang mapan. Banyak konglomerat kunci adalah bisnis keluarga dengan garis suksesi yang jelas (Salim, Riady, Soeryadjaya, Hartono, Widjaja). Studi tentang bisnis keluarga sering menyoroti pentingnya transfer kekayaan antar generasi dan pewarisan "modal sosial" (jaringan, hubungan).

Dalam konteks oligarki, ini termasuk koneksi politik. Anak-anak dan penerus sering dididik di lembaga elite (di dalam negeri dan internasional) dan dipersiapkan sejak usia muda untuk mengambil alih. Mereka tidak hanya mewarisi bisnis tetapi juga buku pedoman politik, yang disesuaikan dengan kondisi kontemporer. Ini memastikan bahwa kerajaan ekonomi keluarga dan pengaruh terkaitnya bertahan melampaui pendiri. Suksesi dinasti dalam konglomerasi kuat ini menunjukkan bahwa struktur oligarkis di Indonesia bukanlah fenomena sementara yang terkait dengan individu tertentu tetapi menjadi fitur ekonomi politik yang mengakar dan multi-generasi. Ini menimbulkan tantangan jangka panjang bagi upaya untuk mempromosikan partisipasi ekonomi yang lebih luas dan mengurangi konsentrasi kekuasaan. "9 Naga" mungkin berevolusi dalam nama, tetapi struktur kekuasaan dinasti yang mendasarinya kemungkinan akan bertahan.

Wajah yang Lebih "Lembut": Filantropi dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)
Banyak konglomerat yang diasosiasikan dengan "9 Naga" terlibat dalam kegiatan filantropi dan inisiatif CSR yang signifikan melalui yayasan mereka.
Contoh: Djarum Foundation , Artha Graha Peduli (Tommy Winata), Tanoto Foundation, Eka Tjipta Foundation (Sinar Mas), CT Arsa Foundation (Chairul Tanjung), Yayasan Hadji Kalla, Yayasan Adaro.

Kegiatan ini sering berfokus pada pendidikan, layanan kesehatan, pengentasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi, dan masalah lingkungan.
Wajah yang lebih "lembut" ini dapat meningkatkan citra publik, membangun modal sosial, dan berpotensi menangkis kritik atau menciptakan itikad baik yang secara tidak langsung mendukung kepentingan bisnis dan politik mereka.

Kegiatan filantropi konglomerasi ini  bukan semata-mata altruistik tetapi dapat dilihat sebagai strategi canggih untuk membangun legitimasi, modal sosial, dan kekuatan lunak, yang secara tidak langsung dapat dimanfaatkan untuk mendukung tujuan bisnis dan politik mereka yang lebih luas, serta untuk melawan persepsi publik yang negatif. Banyak tokoh/kelompok "9 Naga" terkemuka memiliki yayasan filantropi besar yang terlihat (Djarum, Artha Graha, Sinar Mas, CT Corp, dll. - ).

CSR dan filantropi adalah strategi umum bagi perusahaan besar secara global untuk meningkatkan reputasi dan hubungan dengan pemangku kepentingan. Dalam konteks di mana konglomerat menghadapi pengawasan publik atau persepsi negatif (karena kontroversi masa lalu atau dominasi ekonomi semata), kontribusi sosial positif menjadi lebih penting. Meskipun kebaikan sejati mungkin dilakukan, kegiatan ini juga melayani tujuan strategis. Mereka dapat: meningkatkan citra publik, menciptakan itikad baik dengan masyarakat dan pejabat pemerintah, menyediakan akses ke pembuat kebijakan dengan kedok yang tidak mengancam, dan secara halus membentuk debat kebijakan di bidang-bidang seperti pendidikan atau layanan kesehatan di mana mereka aktif.

Wajah yang lebih "lembut" ini mempersulit narasi "9 Naga". Ini menampilkan mereka tidak hanya sebagai aktor ekonomi yang murni ekstraktif tetapi juga sebagai kontributor pembangunan nasional, berpotensi mengurangi kritik dan memperkuat lisensi sosial mereka untuk beroperasi dan mempengaruhi. Ini menambah lapisan kompleksitas pada upaya publik untuk meminta pertanggungjawaban mereka.

Bagian VI. Kesimpulan: Melampaui Mitos – Menghadapi Kekuatan Terkonsentrasi di Indonesia

Analisis terhadap fenomena "9 Naga" di Indonesia mengungkapkan sebuah narasi yang kompleks, melampaui sekadar daftar individu atau kelompok bisnis. Ia adalah cerminan dari dinamika kekuasaan ekonomi dan politik yang mengakar, berevolusi dari era Orde Baru hingga lanskap kontemporer. Membedah "misteri" ini memerlukan pemahaman mendalam tentang sejarah, struktur, dan strategi yang memungkinkan konsentrasi pengaruh sedemikian rupa.
  • Sintesis Temuan Kunci: Memilah Fakta dari Fiksi
    Istilah "9 Naga" telah berevolusi secara signifikan. Bermula sebagai "Gang of Nine" yang diselimuti bayang-bayang di era Orde Baru, diasosiasikan dengan aktivitas ilegal dan dukungan kuat dari penguasa, kini istilah tersebut menjadi label yang lebih luas, meskipun tidak resmi, untuk sekelompok taipan Indonesia yang luar biasa kaya dan berpengaruh. Mereka, yang mayoritas keturunan Tionghoa, melalui konglomerasi mereka, mendominasi sektor-sektor ekonomi utama.

    Meskipun tidak ada kelompok formal yang terdefinisi, label "9 Naga" mencerminkan realitas nyata dari kekuasaan ekonomi yang terkonsentrasi dan keterkaitannya yang mendalam dengan pengaruh politik. Ini adalah warisan patronase Orde Baru yang telah beradaptasi dengan era demokrasi. "Misteri" yang menyelimutinya merupakan perpaduan antara aktivitas bisnis yang terdokumentasi, jurnalisme investigatif yang kredibel (seperti laporan Tempo dan bocoran WikiLeaks), skandal besar (khususnya BLBI), dan spekulasi publik serta legenda urban yang persisten, yang seringkali diwarnai dengan nuansa etnis.
  • "9 Naga" sebagai Lensa: Memahami Ekonomi Politik Indonesia
    Fenomena "9 Naga", baik didefinisikan secara presisi maupun sebagai metafora yang kuat, berfungsi sebagai lensa kritis untuk menganalisis dinamika yang langgeng dari:
  1. Kekuasaan Ekonomi Terkonsentrasi: Kekayaan dan kontrol pasar yang luar biasa di tangan segelintir pihak, serta dampaknya terhadap persaingan, inovasi, dan pembangunan yang merata.
  2. Relasi Negara-Modal: Simbiosis yang berkembang namun persisten antara elite politik dan kepentingan bisnis yang kuat, dari kronisme langsung hingga lobi yang lebih canggih, pendanaan kampanye, dan pengaruh media.
  3. Oligarki dan Demokrasi: Tantangan yang ditimbulkan oleh kekuasaan terkonsentrasi semacam itu terhadap tata kelola demokratis, supremasi hukum, pembuatan kebijakan demi kepentingan publik, dan upaya pemberantasan korupsi.
  4. Keadilan Sosial-Ekonomi: Implikasi dari konsentrasi kekayaan ini terhadap stratifikasi sosial dan ketidaksetaraan ekonomi.
Elaborasi Mendalam dan Wawasan Berlapis: Menghubungkan Masa Lalu dan Sekarang

Terdapat kesinambungan yang jelas dari pola patronase dan pembangunan konglomerat yang difasilitasi negara pada masa Orde Baru hingga manifestasi pengaruh kontemporer (misalnya, Konsorsium Nusantara IKN, pengaruh pada legislasi strategis, kepemilikan media). Mekanisme pengaruh telah beradaptasi (misalnya, dari dukungan presiden langsung menjadi navigasi politik multi-partai dan siklus elektoral), tetapi tantangan mendasar dari kekuasaan oligarkis tetap ada. Dimensi etnis, dengan akar historis dan sensitivitas kontemporernya, seringkali diinstrumentalisasi dalam wacana politik, sambil juga mengakui realitas ekonomi struktural.

Daya tarik dan ketakutan yang terus-menerus terhadap "9 Naga" bukan hanya tentang individu itu sendiri, tetapi merupakan manifestasi publik dari kekurangan yang dirasakan dalam institusi demokrasi Indonesia untuk secara efektif mengatur kekuasaan yang terkonsentrasi, memastikan akuntabilitas, dan memberikan hasil yang adil. Laporan ini telah merinci kekuasaan ekonomi dan politik yang sangat besar, kontroversi historis (BLBI, tuduhan bisnis ilegal), dan strategi adaptif kelompok/individu yang dilabeli "9 Naga".

Ideal-ideal demokrasi mencakup akuntabilitas, transparansi, supremasi hukum, dan checks and balances terhadap kekuasaan yang berlebihan. Narasi "9 Naga" sering menyoroti kegagalan yang dirasakan dalam bidang-bidang ini. "Misteri" tersebut bertahan karena mekanisme demokrasi formal seringkali tampak tidak memadai untuk sepenuhnya memahami atau mengendalikan pengaruh kekuatan oligarkis ini. Publik merasakan adanya kesenjangan antara retorika demokrasi dan realitas kekuasaan. Mengatasi isu "9 Naga" secara efektif tidak hanya memerlukan penargetan individu tetapi juga penguatan institusi dan proses demokrasi yang dimaksudkan untuk memastikan kekuasaan dijalankan secara bertanggung jawab dan untuk kepentingan publik.

Narasi "9 Naga", meskipun terkadang berakar pada stereotip etnis, juga secara tidak sengaja berfungsi sebagai kritik populis terhadap impunitas elite dan ketidaksetaraan. Terlepas dari ketepatan faktual atau pembingkaian etnisnya, kisah tentang kelompok kecil yang sangat kuat yang mengendalikan ekonomi beresonansi dengan keprihatinan publik tentang keadilan dan distribusi kekayaan serta peluang. Narasi ini sering melibatkan tema-tema kekayaan besar, koneksi politik, dan terkadang cara-cara akumulasi yang dipertanyakan. Narasi populis sering mengadu "rakyat" dengan "elite" yang korup atau melayani diri sendiri. "9 Naga" dapat dengan mudah masuk ke dalam kerangka kerja semacam itu.

Bahkan jika detailnya dimitologikan atau diwarnai prasangka, inti dari kisah "9 Naga" menyentuh keluhan publik yang tulus tentang disparitas ekonomi dan persepsi bahwa segelintir orang mendapat manfaat secara tidak proporsional dari sistem, seringkali melalui cara-cara yang tidak tersedia bagi warga biasa. Sentimen populis yang mendasari ini berarti bahwa narasi "9 Naga" dapat menjadi alat politik yang kuat (seperti yang terlihat dalam pemilihan Ahok ), tetapi juga menandakan tuntutan masyarakat akan keadilan ekonomi yang lebih besar dan akuntabilitas dari para elite, yang berpotensi dapat dimanfaatkan oleh pembuat kebijakan dan masyarakat sipil untuk reformasi positif. Tantangannya adalah menyalurkan sentimen ini secara konstruktif, menjauh dari pengkambinghitaman etnis dan menuju perubahan sistemik.

Rekomendasi Rinci: Menuju Transparansi dan Akuntabilitas yang Lebih Besar

Berdasarkan analisis ini, berikut adalah rekomendasi konkret dan dapat ditindaklanjuti yang bertujuan untuk mengurangi risiko pengaruh oligarkis yang tidak semestinya dan mendorong ekonomi politik yang lebih transparan, adil, dan akuntabel di Indonesia:
  • Penguatan Pengawasan Regulasi: Meningkatkan kapasitas dan independensi lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan regulator keuangan untuk mengawasi dan menindak praktik anti-persaingan, korupsi, dan aliran keuangan ilegal yang melibatkan konglomerat kuat. Mengatasi isu "pelemahan KPK".
  • Reformasi Pendanaan Kampanye: Menerapkan peraturan yang lebih ketat tentang pendanaan partai politik dan kampanye untuk mengurangi ketergantungan pada donor swasta besar, meningkatkan transparansi, dan membatasi potensi hubungan quid pro quo.
  • Kepemilikan dan Keberagaman Media: Mendorong transparansi yang lebih besar dalam kepemilikan media dan menerapkan peraturan untuk mencegah konsentrasi yang berlebihan serta memastikan independensi media dari kontrol politik langsung oleh pemilik, memupuk lanskap media yang lebih beragam dan pluralistik.
  • Penguatan Supremasi Hukum dan Independensi Yudisial: Memastikan bahwa sistem hukum dapat mengadili kasus-kasus yang melibatkan aktor ekonomi kuat secara imparsial, bebas dari campur tangan politik.
  • Mendorong Persaingan yang Adil: Secara aktif membongkar struktur pasar monopoli dan oligopoli untuk mendorong persaingan yang lebih setara bagi bisnis dari semua ukuran.
  • Peningkatan Transparansi dalam Transaksi Pemerintah-Bisnis: Terutama untuk proyek nasional berskala besar (seperti IKN) dan pengadaan barang/jasa, memastikan proses tender terbuka dan pengawasan publik untuk mencegah kronisme.
  • Menangani Ketidakadilan Historis: Melanjutkan upaya untuk menyelesaikan skandal keuangan besar di masa lalu seperti BLBI dengan akuntabilitas penuh dan pemulihan aset untuk memulihkan kepercayaan publik dan keuangan negara.
  • Pendidikan Publik dan Wacana Kritis: Mendorong wacana publik yang kritis dan penelitian akademis tentang isu-isu oligarki, konsentrasi kekayaan, dan pengaruh politik untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat yang lebih besar dan tuntutan akan akuntabilitas.

Sumber Referensi:

Artikel ini mengacu pada sumber berikut:

Teuku Raja

Seorang Individu Pecinta Kopi & Kutu Buku yang kritis dan idealis dengan segala hal yang berkaitan dengan Kehidupan, Filsafat dan Psikologi.

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak