Di tengah kompleksitas panggung politik dan ekonomi Indonesia, muncul berbagai narasi dan mitos yang menyelimuti dinamika kekuasaan di negara ini. Salah satu tema yang kerap menarik perhatian adalah kisah "9 Naga", sebuah istilah yang sering diasosiasikan dengan konglomerat kuat yang konon memiliki pengaruh besar terhadap jalannya pemerintahan dan ekonomi. Meski secara harfiah tak terlihat, keberadaan figur-figur ini kerap dibicarakan dalam diskusi politis dan konspiratorial. Artikel ini akan membongkar habis misteri di balik "9 Naga", mengurai jaringan kekuasaan dan pengaruh yang mungkin mereka miliki, serta menggali kebenaran dan mitos yang melingkupinya. Dengan menganalisis sejarah, peran mereka dalam bisnis dan politik, serta dampaknya terhadap masyarakat Indonesia, kita akan berusaha mengidentifikasi sejauh mana mitos ini mempengaruhi persepsi publik, serta apa artinya bagi perkembangan demokrasi dan ekonomi di tanah air.
:: PENDAHULUAN ::
Istilah "9 Naga" telah lama menjadi sebuah enigma yang melekat dalam diskursus sosial-politik dan ekonomi Indonesia, seringkali menjadi sinonim bagi kekuasaan besar yang terkonsentrasi di tangan segelintir taipan. Aspek "misteri" yang menyelimutinya bersumber dari minimnya konfirmasi resmi, sifat bayangan dari dugaan pengaruh mereka, serta perpaduan antara fakta dan legenda urban yang berkembang di masyarakat.
Terminologi ini pertama kali muncul pada era Orde Baru, awalnya dengan konotasi negatif sebagai "Gang of Nine" yang dihubungkan dengan bisnis ilegal, sebelum kemudian bertransformasi untuk menggambarkan para taipan super kaya yang mendominasi perekonomian formal. Istilah ini tetap signifikan karena berfungsi sebagai jalan pintas publik untuk membahas isu-isu konsentrasi kekayaan, keterkaitan politik-ekonomi, dominasi bisnis etnis Tionghoa, dan kekuasaan oligarki yang langgeng.
Laporan ini bertujuan untuk membedah secara kritis akar sejarah, dugaan komposisi, pengaruh multifaset (ekonomi dan politik), kontroversi utama, dan relevansi kontemporer dari "9 Naga". Penekanan akan diberikan pada upaya memisahkan realitas yang terdokumentasi dan analisis kredibel dari mitos yang meresap serta spekulasi yang tidak berdasar, dengan merujuk secara ekstensif pada materi penelitian yang tersedia. Ruang lingkup laporan ini mencakup periode Orde Baru hingga saat ini, dengan fokus tematik pada patronase, struktur konglomerasi, pengaruh kebijakan, krisis, persepsi publik, dan evolusi narasi "9 Naga".
I. Genesis "9 Naga": Asal-Usul dan Patronase Orde Baru
Kelahiran fenomena "9 Naga" tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial-politik dan ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru. Rezim ini, dengan karakteristiknya yang sentralistik dan otoriter, menciptakan sebuah ekosistem unik yang memungkinkan tumbuhnya hubungan erat antara penguasa dan segelintir pengusaha.
- Kemunculan Selama Orde Baru: "Gang of Nine" dan Konotasi Awal.
Istilah "9 Naga" atau pendahulunya, "Gang of Nine", mulai mengemuka pada masa pemerintahan Soeharto. Periode ini ditandai oleh kontrol negara yang kuat dan relasi yang rapat, seringkali buram, antara elite penguasa (termasuk tokoh-tokoh militer) dengan sekelompok pengusaha terpilih, yang mayoritas adalah keturunan Tionghoa-Indonesia.
Awalnya, istilah ini sarat dengan konotasi negatif dan "seram", diasosiasikan dengan bisnis-bisnis ilegal seperti perjudian, perdagangan narkoba, dan penyelundupan. Kelompok ini dipersepsikan beroperasi di atas hukum berkat adanya dukungan kuat dari pihak-pihak berkuasa. Angka "9" sendiri memiliki signifikansi budaya baik dalam tradisi Tionghoa (panjang umur, keberuntungan) maupun Jawa (kesempurnaan, keindahan) , yang mungkin turut berkontribusi pada aura mistis dan ketahanan label tersebut, meskipun aspek ini sekunder dibandingkan dinamika kekuasaan yang ada. Investigasi majalah Tempo bertajuk "Mafia Bisnis Tommy Winata" kerap dikutip sebagai sumber kunci yang mengaitkan "Gang of Nine" dengan aktivitas-aktivitas gelap ini. - Ekonomi Politik Orde Baru: Simbiosis, Patronase, dan Kronisme
Rezim Orde Baru memupuk lingkungan di mana hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara pejabat negara dan pengusaha tertentu berkembang pesat. Sistem ini dibangun di atas fondasi patronase, di mana koneksi politik menjadi prasyarat utama bagi kesuksesan bisnis.
Konglomerasi tumbuh dengan cepat berkat mekanisme yang difasilitasi negara: akses preferensial terhadap lisensi (misalnya, Hak Pengusahaan Hutan/HPH dalam sektor kehutanan), monopoli yang direstui negara (misalnya, penggilingan tepung terigu, cengkih), akses ke kredit bank negara, dan perlindungan dari persaingan. Analisis akademis menyoroti "klientelisme yang mengakar, korupsi, lemahnya supremasi hukum, dan pengaruh oligarkis" sebagai ciri khas era ini, yang meletakkan dasar bagi konsentrasi kekayaan luar biasa yang diasosiasikan dengan "9 Naga".
Kerahasiaan awal dan dugaan sifat ilegal yang dilekatkan pada "Gang of Nine" bukanlah sekadar sensasionalisme media, melainkan cerminan langsung dari bagaimana kekuasaan dan akumulasi kekayaan beroperasi di luar jalur formal dan transparan selama Orde Baru. "Misteri" tersebut merupakan produk sampingan dari sistem itu sendiri. Pengamatan dari berbagai sumber menunjukkan bahwa "9 Naga" atau "Gang of Nine" era Orde Baru memiliki konotasi negatif dan misterius, terkait dengan bisnis ilegal dan dukungan kuat. Hal ini sejalan dengan deskripsi akademis tentang kronisme, patronase, dan lemahnya supremasi hukum di era Orde Baru , di mana koneksi informal dan fasilitasi negara menjadi kunci kesuksesan bisnis. Dengan demikian, ketidakjelasan transaksi bisnis-negara ini, yang seringkali melibatkan aktivitas abu-abu secara hukum atau bahkan ilegal, secara alami menumbuhkan persepsi publik tentang adanya kelompok bayangan yang sangat berkuasa dan beroperasi di balik layar. "Misteri" tersebut bukan hanya tentang siapa mereka, tetapi bagaimana mereka menjadi begitu berkuasa. Legenda "9 Naga" berakar kuat dalam realitas struktural tata kelola Orde Baru, di mana kekuasaan informal dan jaringan tersembunyi lebih signifikan daripada institusi formal bagi penciptaan kekayaan elite. Istilah tersebut menjadi cara bagi publik untuk mengkonseptualisasikan kekuasaan yang tidak akuntabel ini. - Pembinaan konglomerat terpilih oleh Orde Baru.
Meskipun sarat dengan kronisme, juga dapat ditafsirkan sebagai bagian dari strategi Soeharto untuk pembangunan ekonomi dan stabilitas politik, dengan mengandalkan elite bisnis yang loyal untuk mendorong pertumbuhan. Namun, hal ini menciptakan struktur oligarkis yang mengakar dan bertahan melampaui rezimnya. Berbagai sumber menyebutkan adanya "simbiosis mutualisme" antara penguasa dan pengusaha selama Orde Baru. Kebijakan seperti Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) serta proyek infrastruktur besar bertujuan untuk menggenjot ekonomi. Sumber akademis mencatat bahwa kebijakan Orde Baru mendukung pertumbuhan pesat konglomerat, yang sering didominasi oleh keluarga atau kelompok tertentu. Ini dipandang sebagai cara untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Rezim Soeharto kemungkinan melihat para pengusaha pilihan ini bukan hanya sebagai kroni tetapi sebagai mitra penting dalam agenda pembangunannya. Dengan memberi mereka fasilitas dan perlindungan, negara bertujuan membangun industri dan infrastruktur nasional dengan cepat. Ini adalah bentuk pembangunan yang dipimpin negara yang bergantung pada kelas kapitalis yang loyal. Meskipun strategi ini mencapai pertumbuhan ekonomi tertentu , ketergantungannya pada patronase dan penciptaan konglomerat yang kuat dan terlindungi menyebabkan kerugian signifikan: korupsi masif, ketidaksetaraan ekonomi, dan pembentukan oligarki yang pengaruhnya terbukti sulit dibongkar bahkan setelah jatuhnya Orde Baru. "9 Naga" adalah pewaris paling kasat mata dari pilihan strategis ini.
- Sektor Kehutanan: Eksploitasi sumber daya hutan Indonesia yang luas menjadi contoh nyata. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan membuka pintu bagi distribusi HPH. Izin-izin ini seringkali diberikan berdasarkan kedekatan dengan Soeharto dan kroni-kroninya, yang mengarah pada apa yang digambarkan oleh Jeffrey Winters sebagai sistem "mirip mafia". Tokoh-tokoh seperti Bob Hasan ("Raja Hutan Indonesia") meraup kekayaan melalui konsesi semacam itu, seringkali dengan konsekuensi ekologis yang menghancurkan.
- Salim Group (Liem Sioe Liong): Kebangkitan Salim Group milik Liem Sioe Liong, yang mencakup entitas seperti Bank Central Asia (BCA), Indofood (Indomie, monopoli tepung Bogasari), dan Indocement, menjadi contoh kronisme Orde Baru. Hubungan dekatnya dengan Soeharto memberinya akses ke monopoli krusial (misalnya, tepung terigu, cengkih yang dibagi dengan Probosutedjo) dan fasilitas keuangan, yang memungkinkan ekspansi besar-besaran grup tersebut. Konsep "cukong" (pemodal kaya Tionghoa yang mendukung tokoh pribumi berkuasa) menjadi sentral di sini.
- Barito Pacific (Prajogo Pangestu): "Raja kayu" lainnya yang grup Barito Pacific-nya mendapat manfaat besar dari konsesi kehutanan dan kemudian melakukan diversifikasi ke petrokimia (PT Chandra Asri). Jejaknya juga menggambarkan hubungan erat dengan keluarga Cendana (keluarga Soeharto) dan isu utang kompleks yang muncul kemudian.
- Bimantara Group (Bambang Trihatmodjo): Putra Soeharto, Bambang Trihatmodjo, melalui Bimantara Group-nya, memanfaatkan koneksi keluarganya untuk mendapatkan peluang bisnis dan monopoli yang menguntungkan, misalnya dalam penanganan kargo untuk Garuda Indonesia. Ini menyoroti keterlibatan langsung keluarga presiden dalam sistem patronase.
- Mengidentifikasi "Naga": Tantangan Konfirmasi vs. Atribusi yang Persisten
Tidak ada daftar resmi dan konklusif mengenai anggota "9 Naga". Istilah ini sebagian besar merupakan konstruksi media dan publik, bukan sebuah organisasi formal. Meskipun demikian, beberapa nama tertentu secara konsisten muncul dalam laporan media dan diskursus publik sebagai dugaan anggota.
Beberapa individu, seperti Tomy Winata dan Sugianto Kusuma (Aguan), secara terbuka membantah atau menyatakan kebingungan mengenai label tersebut, menganggapnya sebagai imajinasi atau merugikan. Namun, bantahan ini tidak mengurangi penggunaan populer istilah tersebut.
Penting untuk membedakan antara "Gang of Nine" awal yang diasosiasikan dengan aktivitas ilegal (seringkali mencakup nama-nama seperti Aguan, Yorrys Raweyai, Arie Sigit, Edi Porkas, Kumala bersaudara, Johnny Kesuma, Arief Cocong, dan Tommy Winata – ) dan aplikasi "9 Naga" yang lebih luas dan belakangan untuk mencakup para taipan terkaya dan paling berpengaruh, banyak di antaranya mengoperasikan konglomerasi besar yang terdaftar secara publik. Evolusi dalam penamaan ini mencerminkan pergeseran persepsi dan mungkin target pengawasan publik. - Profil Tokoh Kunci dan Konglomerasi (Daftar Kontemporer)
Bagian ini akan memprofilkan tokoh-tokoh kontemporer yang paling sering dikutip, merinci konglomerasi mereka, sektor utama, dan kepemilikan signifikan. Daftar ini dinamis dan bervariasi antar sumber, tetapi nama-nama kunci yang berulang meliputi:
- Robert Budi Hartono (dan Michael Hartono): Djarum Group (tembakau), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) (perbankan, dengan PT Dwimuria Investama Andalan memegang 54,94% saham BCA), Polytron (elektronik), Blibli.com (e-commerce), Mola TV (media), klub sepak bola Como 1907, investasi di bidang telekomunikasi dan kelapa sawit.
- Anthoni Salim: Salim Group, Indofood (Indomie, Bogasari - pengolahan makanan, barang konsumsi), Indomaret (ritel), investasi di BCA, PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI), PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN), energi, telekomunikasi. Secara historis dekat dengan lingkaran Soeharto.
- Tomy Winata (TW/Oe Suat Hong): Artha Graha Group/Network (perbankan - PT Bank Artha Graha Internasional Tbk (INPC), properti dan infrastruktur - Hotel Borobudur, SCBD, Kelapa Gading Square, Mangga Dua Square, Pacific Place, pertambangan, ritel, media, hiburan, telekomunikasi, yayasan Artha Graha Peduli). Hubungan dengan Aguan dan koneksi militer sering disorot.
- James Riady: Lippo Group (real estat, ritel, perhotelan, media, layanan kesehatan - Siloam Hospitals, pendidikan, telekomunikasi, layanan keuangan). Putra dari Mochtar Riady.
- Prajogo Pangestu: Barito Pacific Group (petrokimia - Chandra Asri, energi, kehutanan). Juga terlibat dalam Konsorsium Nusantara untuk IKN.
- Rusdi Kirana: Lion Air Group (Lion Air, Wings Air, Batik Air, Malindo Air, Thai Lion Air - penerbangan). Juga mantan anggota Wantimpres dan duta besar.
- Sofjan Wanandi (Liem Bian Koen): Santini Group (sebelumnya Gemala Group) (properti, otomotif, farmasi, pertambangan, memiliki klub sepak bola Tranmere Rovers).
- Dato Sri Tahir: Mayapada Group (perbankan - PT Bank Mayapada Internasional Tbk (MAYA), layanan kesehatan/rumah sakit - PT Sejahtera Anugrahjaya Tbk (SRAJ), asuransi, properti). Menantu Mochtar Riady, mantan anggota Wantimpres.
- Edwin Soeryadjaya: PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG), PT Astra International (secara historis), Bank Summa, Ortus Group (investasi, sumber daya). Putra dari William Soeryadjaya.
- Sugianto Kusuma (Aguan): Agung Sedayu Group (pengembangan properti - mis. Pantai Indah Kapuk/PIK). Tokoh kunci dalam Konsorsium Nusantara untuk IKN. Kaitan historis dengan Tommy Winata dan militer.
- Franky Oesman Widjaja (dan Keluarga Widjaja): Sinar Mas Group (pulp dan kertas - Asia Pulp & Paper/APP, agribisnis, real estat - Sinarmas Land/BSD City, layanan keuangan, energi, pertambangan). Putra dari Eka Tjipta Widjaja. Terlibat dalam Konsorsium Nusantara.
- Jacob Soetoyo: PT Gesit Sarana Perkasa (properti - Hotel JS Luwansa), Surya Citra Media, PT Alakasa Industrindo Tbk, dewan pengawas CSIS. Dikenal memiliki jaringan internasional.
- Jejak Global: Operasi Internasional dan Jangkauan Pasar
Banyak dari konglomerasi ini tidak terbatas di Indonesia tetapi memiliki operasi dan investasi internasional yang signifikan.
- Salim Group: Indomie didistribusikan di lebih dari 100 negara. Salim Group juga memiliki kepentingan bisnis di Singapura, Hong Kong, Manila, Australia, Nigeria, dan Eropa. Anak perusahaannya seperti PT London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) adalah pemain utama dalam agribisnis.
- Sinar Mas Group: Asia Pulp & Paper (APP) adalah salah satu produsen pulp dan kertas terbesar di dunia. Sinarmas Land memiliki pengembangan properti di luar Indonesia. Grup ini memiliki jejak bisnis di berbagai benua.
- Lippo Group: Memiliki operasi di kawasan Asia Pasifik, di luar jaringan luasnya di Indonesia dalam bidang layanan kesehatan, properti, dan ritel.
- Djarum Group (Hartono Bersaudara): Meskipun rokok Djarum adalah inti bisnisnya, investasi mereka di perusahaan teknologi global Razer dan kepemilikan klub sepak bola Italia Como 1907 menunjukkan diversifikasi internasional.
- Gudang Garam: Dikenal di pasar ekspor, memperkenalkan budaya tembakau Indonesia secara global.
- Indorama Corp (Sri Prakash Lohia): Meskipun Lohia sering terdaftar di antara orang terkaya Indonesia, dan Indorama adalah raksasa petrokimia global, penyertaannya secara langsung dalam narasi "9 Naga" kurang konsisten dalam cuplikan yang diberikan dibandingkan dengan yang lain, tetapi skala bisnis globalnya patut dicatat.
- Dominasi Ekonomi: Konsentrasi Kekayaan, Kontrol Sektor Strategis, dan Dampak Pasar
Konglomerasi yang diasosiasikan dengan "9 Naga" menguasai sebagian besar perekonomian Indonesia, dengan pangsa pasar yang signifikan di sektor-sektor strategis seperti perbankan, real estat, manufaktur, ritel, agribisnis, pertambangan, energi, media, dan telekomunikasi. Sumber menggambarkan bagaimana kehidupan sehari-hari orang Indonesia bersentuhan dengan konglomerasi ini (Indomie/Salim, mobil/Astra, minyak sawit/Sinar Mas, Bakrie).
Konsentrasi kekuatan ekonomi di tangan segelintir pihak ini menimbulkan kekhawatiran tentang praktik monopoli, berkurangnya persaingan pasar, dan melebarnya ketidaksetaraan ekonomi. Investasi mereka diakui berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, terutama selama Orde Baru , tetapi distribusi manfaat dan dampak struktural jangka panjangnya masih menjadi perdebatan.
- Ikatan Historis: Sebagaimana telah dibahas pada Bagian I, hubungan yang mengakar dengan elite politik dan militer menjadi dasar selama Orde Baru. Ikatan ini memfasilitasi perlakuan istimewa dan keuntungan kebijakan.
- Adaptasi Pasca-Soeharto dan Strategi yang Berkembang: Dengan jatuhnya Soeharto dan munculnya demokrasi, metode untuk menggunakan pengaruh politik telah berkembang dan terdiversifikasi:
- Pendanaan Kampanye: Biaya politik yang tinggi dalam pemilu di Indonesia menciptakan ketergantungan pada donatur kaya, termasuk para taipan ini, yang berpotensi menghasilkan pengaruh kebijakan sebagai imbalan atas dukungan finansial. Oligarki menjadi pemain kunci karena mahalnya biaya partisipasi politik.
- Lobi Tingkat Tinggi: Keterlibatan langsung dengan pembuat kebijakan dan pejabat pemerintah tetap menjadi strategi utama. Kehadiran tokoh seperti Jacob Soetoyo di dewan CSIS atau peran menteri di masa lalu yang dipegang oleh tokoh seperti Chairul Tanjung menunjukkan adanya jalur untuk pengaruh semacam itu. Karya Faris Al-Fadhat menunjukkan bagaimana kementerian seperti Perdagangan dan Investasi sering dipimpin oleh tokoh-tokoh yang memiliki hubungan dekat dengan elite bisnis (Mari Elka Pangestu/Sofjan Wanandi, Gita Wirjawan/Ancora, M. Lutfi/Mahaka, dll.), memungkinkan konglomerat untuk membentuk kebijakan ekonomi demi ekspansi regional.
- Kepemilikan Media: Beberapa grup media besar dimiliki oleh konglomerat atau tokoh yang berafiliasi politik (misalnya, MNC Group/Hary Tanoesoedibjo/Perindo, Media Group/Surya Paloh/Nasdem, Viva Group/Bakrie/Golkar, Trans Group/Chairul Tanjung). Kepemilikan ini dapat digunakan untuk membangun citra, membentuk opini publik, propaganda partisan, dan memajukan agenda politik, terutama selama pemilu (misalnya, pemilu 2014, 2019). Hal ini mengikis independensi media dan dapat berdampak pada kualitas demokrasi.
- Keterlibatan Politik Langsung: Beberapa taipan atau anggota keluarga mereka telah terjun langsung ke dunia politik (misalnya, Hary Tanoesoedibjo, Surya Paloh, Rusdi Kirana sebagai mantan anggota Wantimpres , Dato Sri Tahir sebagai mantan anggota Wantimpres ).
- Keberlangsungan Oligarki: Meskipun ada reformasi, struktur oligarkis tetap bertahan, dengan aktor ekonomi yang kuat terus memegang pengaruh politik yang signifikan, terkadang bertindak sebagai "regulator dan eksekutor" dalam sistem negara.
- Legislasi: Dugaan dan analisis menunjukkan potensi pengaruh dalam perumusan undang-undang kunci, seperti Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), yang menurut para kritikus lebih menguntungkan perusahaan besar dan oligarki daripada buruh dan lingkungan. Demikian pula, perubahan pada Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) telah diteliti karena berpotensi menguntungkan kepentingan pertambangan yang sudah mapan dan jaringan oligarkis.
- Pembangunan IKN ("Konsorsium Nusantara"): Keterlibatan konsorsium konglomerat besar (termasuk yang terkait dengan Aguan, Salim Group, Sinar Mas, Barito Pacific, Astra) dalam pembangunan ibu kota baru, Nusantara (IKN), adalah contoh kontemporer yang menonjol dari peran mereka dalam proyek strategis nasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang transparansi, distribusi manfaat yang adil, dan implikasi jangka panjang dari keterlibatan sektor swasta yang terkonsentrasi dalam megaproyek yang dipimpin negara. Pemerintah memandang investasi swasta, yang difasilitasi oleh skema seperti Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dan periode HGU/HGB yang panjang, sebagai hal penting untuk pendanaan IKN.
- Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI): Masterplan ini, menurut Faris Al-Fadhat, mencakup prioritas untuk menghubungkan operasi konglomerat dengan modal regional, khususnya melalui integrasi ekonomi ASEAN, yang menunjukkan dukungan negara untuk ekspansi internasional mereka.
- WikiLeaks (2011): Kawat diplomatik AS yang bocor menyoroti dugaan hubungan dekat antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu dan Tomy Winata, dengan T.B. Silalahi disebut sebagai perantara. Kawat ini juga menyebutkan adanya korupsi di dalam pemerintahan SBY. Tomy Winata membantah tuduhan ini. Insiden ini membawa isu hubungan politik-bisnis tingkat tinggi menjadi sorotan internasional yang tajam.
- Ekonomi Bayangan: Tuduhan Bisnis Ilegal dan Persepsi Impunitas
Iterasi awal "9 Naga" sebagai "Gang of Nine" sangat terkait dengan "bisnis remang-remang", termasuk perjudian, narkoba, dan penyelundupan. Mereka dipersepsikan memiliki "bekingan" yang kuat, membuat mereka seolah-olah tak tersentuh oleh aparat penegak hukum.
Investigasi Tempo "Mafia Bisnis Tommy Winata": Seri investigasi ini menjadi landasan dari tuduhan-tuduhan ini. Sinopsis buku mempertanyakan apakah kesuksesan Tomy Winata disebabkan oleh kedekatannya dengan tokoh militer dan Keluarga Cendana, dan apakah ia bagian dari "Gang of Nine" yang mengendalikan perdagangan ilegal. Meskipun temuan spesifik dari buku tersebut tidak dirinci dalam cuplikan yang ada, keberadaan dan fokusnya sangat signifikan dalam membentuk narasi "9 Naga". Sumber menyebutkan Aguan memperkenalkan Tommy Winata kepada sebuah yayasan TNI AD, yang berujung pada akuisisi Bank Propelat (kemudian menjadi Artha Graha). Sumber mencatat kebangkitan TW dari kemiskinan, dengan proyek-proyek militer menjadi titik balik.
- Dampak terhadap Konglomerat: Krisis ini berdampak parah pada konglomerat Indonesia, banyak di antaranya telah mengakumulasi utang swasta dalam mata uang asing dalam jumlah besar. Kebijakan pemerintah yang mempertahankan nilai rupiah yang terlalu tinggi dan suku bunga domestik yang tinggi telah membuat pinjaman luar negeri menarik tetapi berisiko. Depresiasi tajam rupiah melumpuhkan kemampuan mereka untuk membayar kembali utang.
- Skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia): Untuk mencegah keruntuhan sistemik sektor perbankan, Bank Indonesia menyalurkan bantuan likuiditas (BLBI) dalam jumlah besar. Namun, sebagian besar dana ini diduga disalahgunakan oleh pemilik bank penerima, banyak di antaranya adalah pimpinan konglomerat terkemuka. Ini menjadi salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia, dengan kerugian negara diperkirakan mencapai ratusan triliun rupiah, berpotensi mencapai Rp 5000 triliun pada tahun 2043.
- Peran BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional): BPPN didirikan pada Januari 1998 untuk merestrukturisasi utang konglomerat dan memulihkan dana negara. Ini melibatkan pengambilalihan aset, pertukaran utang menjadi ekuitas (debt-to-equity swap), dan penjualan aset.
- Lippo Group: Aset bekas Bank Lippo Karawaci diserahkan kepada BPPN. Pada tahun 2021, Satgas BLBI menyita aset tanah di Lippo Karawaci senilai Rp 1,3 triliun, yang telah menjadi milik negara sejak tahun 2001 sebagai bagian dari penyelesaian kewajiban BLBI. Lippo sendiri membantah pernah menerima dana BLBI secara langsung.
- Salim Group: Krisis memaksa Salim Group untuk mendivestasi aset signifikan, termasuk saham mayoritas di BCA (yang kemudian diakuisisi oleh Djarum Group ) dan Indocement. Meskipun demikian, grup ini berhasil bertahan dan membangun kembali. Salim Group adalah salah satu obligor utama yang menerima SKL (Surat Keterangan Lunas) di bawah Presiden Megawati, meskipun audit BPK kemudian menemukan kewajiban yang belum diselesaikan dalam jumlah besar.
- Texmaco Group: Diambil alih oleh BPPN karena utang besar (Rp 29,04 triliun). Asetnya sulit didivestasi, dan terjadi pertarungan hukum terkait perjanjian restrukturisasi.
- Gajah Tunggal Group: Disebutkan bersama Texmaco memiliki masalah terkait BLBI yang ditangani oleh BPPN.
- Barito Pacific Group (Prajogo Pangestu): Merupakan debitur besar BPPN. PT TEL (pabrik pulp) berutang USD 370 juta. Terdapat tuduhan penipuan terhadap BPPN terkait aset seperti Bank Andromeda dan PT Chandra Asri.
- Sinar Mas Group (Eka Tjipta Widjaja): Juga terdaftar di antara "raja kayu" dengan utang signifikan selama krisis.
- Peran Media: Media telah memainkan peran penting dalam mempopulerkan dan melanggengkan istilah "9 Naga", sering menggunakannya untuk merujuk pada taipan berpengaruh tanpa harus memberikan bukti konkret tentang adanya kelompok formal yang terkoordinasi. Film "9 Naga" (2006) juga berkontribusi pada mata uang budaya istilah tersebut, meskipun fokusnya adalah pada drama kriminal dan maskulinitas daripada taipan tertentu.
- Etnisitas dan Sentimen Anti-Tionghoa: Identitas Tionghoa-Indonesia yang dominan dari mereka yang dilabeli "9 Naga" adalah aspek kritis dan sensitif dari narasi tersebut. Hal ini bersinggungan dengan sentimen anti-Tionghoa yang historis dan terkadang laten di Indonesia.
- Heryanto (2008, dikutip dalam ) berpendapat bahwa sentimen anti-Tionghoa adalah alat untuk mengelola kekuasaan selama Orde Baru.
- Label "9 Naga" digunakan selama pemilihan gubernur Jakarta 2017 terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mengaitkannya dengan dugaan kepentingan konglomerat Tionghoa. Ini menunjukkan kegunaan politik istilah tersebut dalam memobilisasi kecemasan berbasis etnis dan kelas.
- Persepsi publik sering mengasosiasikan etnis Tionghoa-Indonesia dengan kesuksesan bisnis (68,1% responden dalam survei 2017 setuju bahwa mereka memiliki bakat alami untuk sukses dalam bisnis), kekayaan, dan menjadi bagian dari kelas menengah/atas. Persepsi ini, meskipun terkadang stereotip, memicu masuk akalnya narasi "9 Naga" bagi sebagian orang.
- Evolusi Konsep "9 Naga": Pergeseran Makna, Keberlangsungan Salience
Sebagaimana telah dibahas, istilah ini telah berevolusi dari "Gang of Nine" yang spesifik dan terkait dengan aktivitas ilegal menjadi label yang lebih umum, meskipun masih agak misterius, untuk para taipan bisnis paling kuat di Indonesia. Meskipun sifatnya amorf dan tidak memiliki definisi resmi, istilah "9 Naga" tetap sangat menonjol dalam wacana publik, sering digunakan dalam diskusi tentang konsentrasi ekonomi, pengaruh politik, dan proyek pembangunan nasional. Penggunaannya yang berkelanjutan oleh media dan dalam percakapan populer (misalnya, insiden Alvin Lim ) menunjukkan kekuatannya yang abadi sebagai simbol. - Pengaruh Berkelanjutan: Kekuasaan Ekonomi dan Politik yang Berlangsung di Indonesia Kontemporer
Konglomerasi yang diasosiasikan dengan "9 Naga" terus mendominasi sektor-sektor utama ekonomi Indonesia. Kapitalisasi pasar mereka seringkali termasuk yang tertinggi di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Pengaruh politik mereka bertahan melalui strategi yang telah disesuaikan seperti pendanaan kampanye, lobi, kepemilikan media, dan partisipasi politik langsung. - IKN dan "Konsorsium Nusantara": Peran menonjol mereka dalam pembangunan ibu kota baru (IKN) melalui "Konsorsium Nusantara" (Sugianto Kusuma/Aguan, Franky Widjaja/Sinar Mas, Prajogo Pangestu/Barito Pacific, Salim Group, Astra Group, dll.) adalah manifestasi kontemporer utama dari pengaruh abadi mereka dan kemitraan dengan negara dalam proyek strategis nasional. Keterlibatan ini dipandang oleh pemerintah sebagai krusial untuk pendanaan dan pembangunan.
- Omnibus Law (UU Cipta Kerja): Dikritik karena menguntungkan bisnis besar dan kepentingan oligarkis.
- UU Minerba (Undang-Undang Pertambangan): Dipandang berpotensi memfasilitasi kontrol oligarkis atas sumber daya mineral.
- Transisi Energi & Ekonomi Hijau: Keterlibatan dan potensi pengaruh konglomerat besar dalam kebijakan terkait transisi energi, kendaraan listrik (EV), industri nikel/baterai, dan perdagangan karbon merupakan area pengawasan yang muncul. Misalnya, insentif pajak EV terkadang dianggap lebih menguntungkan konglomerat.
- Sintesis Temuan Kunci: Memilah Fakta dari Fiksi
Istilah "9 Naga" telah berevolusi secara signifikan. Bermula sebagai "Gang of Nine" yang diselimuti bayang-bayang di era Orde Baru, diasosiasikan dengan aktivitas ilegal dan dukungan kuat dari penguasa, kini istilah tersebut menjadi label yang lebih luas, meskipun tidak resmi, untuk sekelompok taipan Indonesia yang luar biasa kaya dan berpengaruh. Mereka, yang mayoritas keturunan Tionghoa, melalui konglomerasi mereka, mendominasi sektor-sektor ekonomi utama.
Meskipun tidak ada kelompok formal yang terdefinisi, label "9 Naga" mencerminkan realitas nyata dari kekuasaan ekonomi yang terkonsentrasi dan keterkaitannya yang mendalam dengan pengaruh politik. Ini adalah warisan patronase Orde Baru yang telah beradaptasi dengan era demokrasi. "Misteri" yang menyelimutinya merupakan perpaduan antara aktivitas bisnis yang terdokumentasi, jurnalisme investigatif yang kredibel (seperti laporan Tempo dan bocoran WikiLeaks), skandal besar (khususnya BLBI), dan spekulasi publik serta legenda urban yang persisten, yang seringkali diwarnai dengan nuansa etnis. - "9 Naga" sebagai Lensa: Memahami Ekonomi Politik Indonesia
Fenomena "9 Naga", baik didefinisikan secara presisi maupun sebagai metafora yang kuat, berfungsi sebagai lensa kritis untuk menganalisis dinamika yang langgeng dari:
- Kekuasaan Ekonomi Terkonsentrasi: Kekayaan dan kontrol pasar yang luar biasa di tangan segelintir pihak, serta dampaknya terhadap persaingan, inovasi, dan pembangunan yang merata.
- Relasi Negara-Modal: Simbiosis yang berkembang namun persisten antara elite politik dan kepentingan bisnis yang kuat, dari kronisme langsung hingga lobi yang lebih canggih, pendanaan kampanye, dan pengaruh media.
- Oligarki dan Demokrasi: Tantangan yang ditimbulkan oleh kekuasaan terkonsentrasi semacam itu terhadap tata kelola demokratis, supremasi hukum, pembuatan kebijakan demi kepentingan publik, dan upaya pemberantasan korupsi.
- Keadilan Sosial-Ekonomi: Implikasi dari konsentrasi kekayaan ini terhadap stratifikasi sosial dan ketidaksetaraan ekonomi.
- Penguatan Pengawasan Regulasi: Meningkatkan kapasitas dan independensi lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan regulator keuangan untuk mengawasi dan menindak praktik anti-persaingan, korupsi, dan aliran keuangan ilegal yang melibatkan konglomerat kuat. Mengatasi isu "pelemahan KPK".
- Reformasi Pendanaan Kampanye: Menerapkan peraturan yang lebih ketat tentang pendanaan partai politik dan kampanye untuk mengurangi ketergantungan pada donor swasta besar, meningkatkan transparansi, dan membatasi potensi hubungan quid pro quo.
- Kepemilikan dan Keberagaman Media: Mendorong transparansi yang lebih besar dalam kepemilikan media dan menerapkan peraturan untuk mencegah konsentrasi yang berlebihan serta memastikan independensi media dari kontrol politik langsung oleh pemilik, memupuk lanskap media yang lebih beragam dan pluralistik.
- Penguatan Supremasi Hukum dan Independensi Yudisial: Memastikan bahwa sistem hukum dapat mengadili kasus-kasus yang melibatkan aktor ekonomi kuat secara imparsial, bebas dari campur tangan politik.
- Mendorong Persaingan yang Adil: Secara aktif membongkar struktur pasar monopoli dan oligopoli untuk mendorong persaingan yang lebih setara bagi bisnis dari semua ukuran.
- Peningkatan Transparansi dalam Transaksi Pemerintah-Bisnis: Terutama untuk proyek nasional berskala besar (seperti IKN) dan pengadaan barang/jasa, memastikan proses tender terbuka dan pengawasan publik untuk mencegah kronisme.
- Menangani Ketidakadilan Historis: Melanjutkan upaya untuk menyelesaikan skandal keuangan besar di masa lalu seperti BLBI dengan akuntabilitas penuh dan pemulihan aset untuk memulihkan kepercayaan publik dan keuangan negara.
- Pendidikan Publik dan Wacana Kritis: Mendorong wacana publik yang kritis dan penelitian akademis tentang isu-isu oligarki, konsentrasi kekayaan, dan pengaruh politik untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat yang lebih besar dan tuntutan akan akuntabilitas.
Sumber Referensi:
Artikel ini mengacu pada sumber berikut:
- Menguak Misteri '9 Naga', Penguasa Ekonomi di Indonesia Bermata Sipit
- Menguak Misteri "9 Naga", Sosok Penguasa Ekonomi Indonesia
- 6 Kebijakan Ekonomi Orde Baru dan Dampaknya bagi Indonesia
- Di Era Orde Baru, Hutan Indonesia Digarong Penguasa & Konglomerat
- Belajar dari Kegagalan Politik Pengelolaan SDA Orde Baru: Studi Kasus Kalimantan Timur
- How Indonesia Became a Hotbed for Conglomerates – And What It Means for the Future of the Country
- Sejarah Munculnya Sembilan Naga, Kisah Kelompok Misterius dalam Dunia Bisnis Indonesia, Siapa Mereka
- Skandal Korupsi di Garuda dari Masa ke Masa
- Nepotisme: Sebuah Peluang Peningkatan Kesejahteraan atau Tindakan Eksploitasi Birokrasi Keuangan?
- Legenda Sembilan Naga, Kelompok Pengusaha Berjaya di Era Orde Baru
- Top 10 richest in Indonesia 2024
- Daftar Perusahaan 9 Naga di Indonesia dan Sahamnya
- 10 Konglomerat Terkaya di Indonesia yang Mengubah Dunia Bisnis
- Kepemilikan & Afiliasi Politik Media di Indonesia
- REGULATORY CAPITALISM DI ASIA TENGGARA: TRANSFORMASI DAN PERAN KAPITAL INTERNASIONAL DALAM RESTRUKTURISASI NEGARA
- KONGLOMERASI KEPEMILIKAN MEDIA MASSA DI INDONESIA
- Krisis BPPN dan Posisi Konglomerat
Good Information
BalasHapusRegards, Unissula